Bank Dunia, ADB, Hingga BI Minta RI Naikkan Harga BBM

Haruskah BBM Subsidi Dihapus?

Bank Dunia, ADB, Hingga BI Minta RI Naikkan Harga BBM

- detikFinance
Jumat, 04 Apr 2014 11:42 WIB
Bank Dunia, ADB, Hingga BI Minta RI Naikkan Harga BBM
Jakarta - Sejumlah pihak hingga lembaga asing meminta pemerintah Indonesia mengurangi subsidi BBM yang dinilai terlalu membebani anggaran. Anggaran subsidi BBM Rp 211 triliun tahun ini, 94% dinikmati orang mampu.

Tidak tepat sasarannya subsidi BBM ini, bahkan membuat pemerintah didorong untuk menghapuskan saja subsidi BBM ini.

Lembaga internasional Bank Dunia jadi salah satu yang konsisten meminta pemerintah Indonesia mengurangi subsidi BBM. Kepala Perwakilan Bank Dunia Rodrigo Chaves mengatakan, seharusnya kebijakan pemerintah Indonesia sejalan untuk memperkuat ekonomi Indonesia. Termasuk kebijakan subsidi yang dikeluarkan seharusnya ditujukan untuk kepentingan yang mendesak.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Harus ada penyesuaian kebijakan-kebijakan yang mencakup pengalihan belanja subsidi yang signifikan, seharusnya subsidi dialokasikan untuk kebutuhan-kebutuhan yang lebih mendesak, seperti subsidi untuk investasi dalam bidang infrastruktur, perbaikan iklum investasi, dan perbaikan pelayanan masyarakat," ujar Rodrigo Maret 2014 lalu.

Bila pemerintah tetap memberikan alokasi BBM subsidi yang terlalu besar, menurut Bank Dunia akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Jika tidak ada perubahan kebijakan khususnya alokasi subsidi, maka akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun ini yang kami perkirakan hanya 5,3% turun dibandingkan tahun sebelumnya pada 2013 yang mencapai 5,8% dan 6,2% pada 2012," ungkap Rodrigo.

Bahkan Bank Dunia mendorong agar pemerintahan baru nanti hasil pemilu 2014, menaikkan harga BBM subsidi Rp 8.500 per liter.

"Menaikkan ada dua, bisa Rp 8.500 per liter, atau menaikkan harga sebesar 50%," ujar Ekonom Utama Perwakilan Bank Dunia di Jakarta Jim Brumby.

Hal yang sama juga diminta Asian Development Bank (ADB). Lembaga asing tersebut menilai ekonomi Indonesia akan makin berat tumbuh, bila subsidi BBM masih ada, apalagi dengan anggaran alokasi yang cukup besar.

"Defisit neraca berjalan Indonesia masih cukup mengkhawatirkan, salah satunya makin besarnya anggaran subsidi BBM tiap tahun. Makin besar subsidi BBM makin berat ekonomi Indonesia untuk tumbuh," kata Deputi Direktur ADB untuk Indonesia Edimon Ginting beberapa waktu lalu.

Edimon mengatakan, ADB bukan anti terhadap subsidi, subsidi tetap baik, asal subsidi tersebut tepat sasaran. Sementara, subsidi BBM di Indonesia dinilai tidak tepat sasaran.

"Subsidi BBM itu baiknya dialihkan untuk sesuatu yang lebih baik, mendorong ekonomi Indonesia, bukan dihapus, tetapi dialihkan ke pembangunan infrastruktur dan pendidikan," ucapnya.

Pasalnya, harga BBM yang murah karena disubsidi pemerintah karena mendorong orang untuk berlebihan menggunakan BBM.

"Orang kalau BBM-nya murah dia cenderung boros, over consumption, tentu efeknya buruk, sudah anggaran negara terbebani, polusi dan lainnya, coba kalau dialihkan ke infrastruktur dan pendidikan, apakah kalau over infrastruktur atau over pendidikan jelek dampaknya? Tentu tidak, efeknya jauh lebih bagus," ungkapnya.

Tidak hanya asing, di dalam negeri sendiri, Bank Indonesia masih menyoroti anggaran subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) yang masih tinggi tahun ini. Tercatat pada APBN 2014, anggaran subsidi BBM mencapai Rp 211 triliun dari total anggaran Rp 1.800 triliun.

Gubernur BI Agus Martowardojo juga mengatakan, harus ada kebijakan yang dapat mengarahkan subsidi BBM menjadi lebih efisien. Apakah itu dari sisi harga atau menahan laju konsumsi.

"Anggaran subsidi BBM dan energi masih menjadi masalah yang harus dicarikan solusinya dari tahun sebelumnya hingga sekarang," ungkap Agus Marto.

Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara menambahkan, masalah subsidi BBM adalah pekerjaan rumah bagi pemerintah.

"Siapapun pemerintahan baru kalau tidak selesaikan energi kita akan alami kesulitan. Impor BBM makin besar. Harga batu bara nggak naik-naik. Jadi CAD (current account deficit) itu sulit untuk cepat baik," kata Mirza.

Memang menurut Mirza sudah ada perbaikan reformasi struktural dari sektor energi dari pemerintah, tapi itu harus berkelanjutan. Bila tidak diselesaikan dengan pemerintahan sekarang, maka harus menjadi tugas pemerintahan selanjutnya.

"Kalau tidak segera reformasi energi, energi impor makin besar, susah mengatasi kalau tidak reformasi," terangnya.

(rrd/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads