Direktur Industri Tekstil dan Aneka Kementerian Perindustrian Ramon Bangun mengatakan, hal pertama yang menjadi dampak adalah melonjaknya impor bahan garmen yang berujung pada penurunan surplus neraca perdagangan hingga US$ 2,7 miliar.
Dia memaparkan, biaya produksi industri hulu khususnya tekstil seperti serat, benang, dan fiber akan naik seiring dengan naiknya tarif listrik. Itu akan menimbulkan efek domino ke industri hilirnya yaitu kain yang otomatis akan menaikkan harga. Alhasil, industri garmen akan lebih memilih bahan baku impor karena dinilai lebih murah.
"Jadi ada penambahan impor dan penurunan ekspor yang dengan sangat moderat kita hitung US$ 2,7 miliar. Ini akan memberatkan neraca perdagangan kita," tegas Ramon saat ditemui detikFinance di kantornya, Senin (28/4/2014).
Masalah kedua, lanjut Ramon, kenaikan ini akan berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja (PHK). Industri akan mengurangi kapasitas produksi yang berimbas pada pengurangan tenaga kerja.
"Kapasitas banyak yang idle. Tadinya misal bikin 10, sekarang dia bikin 6. Kalau begini pasti dikurangi juga orangnya, PHK judulnya," tutur Ramon.
Ketiga, tambah Ramon, adalah klasifikasi kenaikan listrik itu sendiri. Menurutnya, kebijakan ini akan menimbulkan persaingan yang tidak sehat karena kenaikan listrik hanya berlaku pada industri golongan I-3 perusahaan terbuka dan golongan I-4. Padahal, banyak yang memproduksi produk yang sama tetapi bukan perusahaan terbuka.
"Ada persaingan tidak sehat, karena perbedaan harga listrik. Kan gila," ujarnya.
(zul/hds)











































