Pemerintah telah mengajukan APBN-Perubahan (APBN-P) 2014 kepada DPR. Di dalamnya, subsidi BBM melonjak dari Rp 210,7 triliun menjadi Rp 285 triliun.
Untuk mengimbangi kenaikan ini, pemerintah terpaksa memangkas belanja kementerian/lembaga (K/L) Rp 100 triliun. Kalau belanja K/L tak dipotong, maka defisit anggaran akan naik dan bisa saja menembus ambang batas yang ditetapkan dalam UU Keuangan Negara, yaitu 3% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Namun, pantaskah pemerintah berkorban demi subsidi BBM? Apakah memang subsidi tersebut dinikmati oleh mereka yang berhak, yaitu masyarakat berpenghasilan rendah?
Sudah banyak studi yang menyebutkan bahwa subsidi BBM salah sasaran. Salah satunya hasil kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM-FEUI). Ternyata kelompok non miskin mengonsumsi premium 8,2 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok miskin. Untuk solar, kelompok non miskin mengonsumsi 99,4 kali lebih banyak daripada kelompok miskin.
Wakil Ketua Komite Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Fanshurullah Asa mengakui hal itu. "Yang perlu disubsidi itu rakyat lemah, nelayan, petani, masyarakat di perbatasan, di pelosok, yang jangankan bisa membeli BBM subsidi, kendaraan pun mereka tidak punya, listrik pas-pasan sebentar nyala sebentar padam," katanya kepada detikFinance, Rabu (28/5/2014).
Fanshurullah mengakui, walaupun institusinya merupakan lembaga negara tetapi dirinya lebih menyarankan agar pemerintah menaikkan harga BBM besubsidi.
"Cara paling tepat, paling ampuh, tidak menguras biaya, adalah dengan menaikkan harga BBM subsidi. Jangan langsung tapi sedikit-demi sedikit, Rp 1.000 per liter misalnya. Saya rasa masyarakat akan terima, dan negara bisa hemat Rp 50 triliun lebih. Tidak perlu susah-susah kan?" tegasnya.
Fanshurullah yakin, dengan kenaikan harga akan lebih memberikan manfaat kepada negara maupun masyarakat. Buat negara, akan lebih mudah mengawasi peredaran BBM bersubsidi karena tidak ada insentif untuk menyelundupkan. Lalu buat masyarakat, hasil penghematan dari subsidi bisa dinikmati dalam bentuk perbaikan infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
"Rakyat kita di pelosok daerah itu tidak butuh BBM subsidi, mereka butuhnya BBM itu ada. Percuma ada BBM subsidi kalau ketersediaannya hanya Senin dan Kamis. Kalau infrastruktur kita kuat, BBM se-Indonesia akan tersedia tiap hari," jelasnya.
Anggota Komite BPH Migas Ibrahim Hasyim mengatakan, subsidi BBM bisa diibaratkan sebagai racun bagi perekonomian. Selain salah sasaran, negara juga jadi repot karena harus mengawasi betul peredarannya.
"Tiap tahun pemerintah bolak-balik ke DPR untuk minta tambah jatah BBM subsidi. Sementara di lapangan, susah sekali mengawasi BBM subsidi. Banyak disalahgunakan, diselundupkan, paling banyak ke industri dan kapal-kapal niaga di laut. Masa terus dibiarkan seperti ini tiap tahun?" tegas Ibrahim.
Impor BBM US$ 150 Juta Tiap Hari
Secara global, negara yang memberikan subsidi BBM sudah tidak banyak. Di tingkat ASEAN, Malaysia memang masih memberikannya bahkan untuk BBM kelas wahid yaitu RON95.
Namun ini karena produksi minyak Malaysia masih lebih tinggi dibandingkan konsumsi rakyatnya. Bahkan Malaysia masih kuat untuk mengekspor BBM mereka, salah satunya ke Indonesia.
Sementara Indonesia, produksi minyak nasional adalah 804.000 barel per hari, itu pun yang bisa dikelola di kilang minyak dalam negeri hanya sekitar 650.000 barel per hari. Sementara kebutuhan BBM nasional mencapai 1,5 juta barel/hari.
Susilo Siswoutomo, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, menyebut Indonesia harus mengeluarkan dana US$ 150 juta per hari untuk impor minyak dan BBM. "Kalau terus begini, tahun depan perlu US$ 180 juta/hari untuk impor. Tahun depannya lagi US$ 200 juta/hari, hanya untuk impor yang namanya BBM," tegasnya.
Dunia usaha mengaku sudah berulang kali meminta pemerintah meniadakan BBM subsidi. "Kita sudah jauh-jauh hari meminta pemerintah hapuskan BBM subsidi. Akibat BBM subsidi, infrastruktur kita tertinggal dari negara-negara tetangga," kata Suryo Bambang Sulisto, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia.
Pengalihan subsidi BBM, lanjut Suryo, juga bisa dinikmati oleh masyarakat. "Infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan pasti rakyat lebih senang. Jembatan terbangun, jalan terbangun, biaya pendidikan dan kesehatan makin murah," katanya.
Namun, subsidi BBM bukan isu ekonomi semata. Ini merupakan masalah politik, karena subsidi BBM adalah program yang populis.
"Saya selalu berkata, bahwa masalah subsidi adalah kebijakan politik. Jadi keputusannya juga harus dilakukan secara politik," kata Chairul Tanjung, Menko Perekonomian.
Berharap kepada Pemerintah Baru
Harapan pun disematkan kepada pemerintahan baru hasil Pilpres 2014. Direktur Indef Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintahan baru perlu menaikkan harga BBM secara bertahap agar tidak terlalu mengejutkan masyarakat.
"Awal periode itu sudah bisa dimulai kenaikan harganya. Itu akan lebih baik, misalnya 20% harga naik sudah bagus," kata Enny.
Pemerintahan baru pun diminta untuk menyediakan solusi ketika subsidi BBM dihapuskan secara perlahan. Menurut Montty Girianna, Direktur Divisi Energi, Sumber Daya Mineral, dan Pertambangan Bappenas, ada 2 hal yang bisa dilakukan ketika pemerintah menghapuskan subsidi BBM.
Pertama adalah menyediakan energi alternatif, seperti bahan bakar gas (BBG). Kedua adalah menyediakan transportasi publik yang aman, nyaman, dan tepat waktu agar masyarakat mau beralih.
"Kebijakan BBM itu makanya harus dibuat satu paket, tidak sepotong-sepotong. Kalau harga BBM dinaikkan sementara BBG dan public transport tidak ada, orang kan bingung. Orang akan marah karena daya belinya terganggu, dan dianggap menyengsarakan," papar Montty.
Β
(rrd/hds)











































