Tim sukses pasangan Jokowi-JK, Darmawan Prasojo mengatakan, salah satu pertimbangan sulitnya membangun PLTN di dalam negeri karena investasi yang cukup besar.
"PLTN itu jangka panjang. Sekarang kita punya opsi lain, nuklir masih jangka panjang. Bukan sulit dikembangkan tetapi kita masih punya banyak opsi dari kekuatan domestik seperti nabati, gas alam dan lain-lain. Ini masalah prioritas dan yang kita lakukan karena biayanya besar dan modalnya itu di awal," kata Darmawan di diskusi 'Polemik: Masalah Energi Nasional', di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (31/05/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sama halnya dengan kubu Jokowi-JK, kubu Prabowo-Hatta juga mengaku belum memiliki target untuk membangun PLTN di dalam negeri. "Sementara ini itu yang dipertimbangkan, tetapi belum dimasukan ke dalam visi misi. Visi misi kita program prioritas, nuklir dipertimbangkan kita ingin memastikan matang dulu, kalau sudah matang kita siap," jawab tim sukses Prabowo-Hatta Rajasa, Dradjad Wibowo pada kesempatan yang sama.
Nuklir memang bagaikan dua sisi mata uang. Di satu sisi nuklir mengandung sisi negatif, sebagai bahan pembuat senjata pemusnah massal. Dunia menjadi saksi bagaimana dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki, luluh lantak akibat hantaman senjata nuklir Amerika Serikat pada Perang Dunia II.
Namun di sisi lain, nuklir bisa menjadi penyelamat kehidupan manusia. Nuklir merupakan salah satu sumber energi yang bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik. Di tengah ancaman semakin menipisnya sumber energi fosil, nuklir adalah alternatif.
Penggunaan tenaga nuklir untuk pembangkit listrik dimulai di AS pada 1942. Kemudian pada 1950-an mulai merambah ke Eropa, seperti Inggris dan Uni Soviet (sekarang Rusia). Pembangkit listrik tenaga nuklir merupakan antitesis atas keprihatinan penyalahgunaan nuklir untuk kepentingan perang.
Di sejumlah negara, nuklir sudah dimanfaatkan sebagai sumber energi pembangkit tenaga listrik. Misalnya di Jepang, sekitar 40% pasokan listrik berasal dari pembangkit tenaga nuklir. Sementara di Amerika Serikat, sekitar 20% pasokan listrik berasal dari 100 situs pembangkit tenaga nuklir.
Indonesia sendiri belum memiliki PLTN. Dalam Peraturan Pemerintah tentang Kebijakan Energi Nasional, nuklir masih menjadi pilihan terakhir jika seluruh sumber energi terbarukan tidak memadai.
Padahal, Indonesia membutuhkan pembangkit listrik yang bisa diandalkan. Secara nasional, rasio elektrifikasi di Indonesia adalah 80%. Namun di sejumlah daerah rasio tersebut masih cukup minim, seperti di Papua yang hanya 36,4%.
Dikutip dari situs resmi Batan, harga listrik hasil PLTN dihargai 3,7-5 sen dolar Amerika Serikat. Sementara dari gas 5,8-7,2 cen dolar AS, batubara 3,5-5,2 sen dolar AS, angin 7,4 sen dolar AS, dan panas bumi 9 sen dolar AS.
Kemudian, ongkos produksi listrik di PLN juga semakin lama akan semakin turun karena sebagian besar biaya dikeluarkan pada saat pembangunan konstruksi. Ongkos bahan bakar PLTN hanya sekitar 10% dari seluruh biaya pembangkitan, sedangkan pembangkit bertenaga batubara dan minyak bisa mencapai 60%. Hal ini karena penggunaan bahan bakar PLTN sangat efisien dan harganya cukup stabil, tidak seperti minyak dan batubara.
Menurut kajian Batan, teknologi PLTN saat ini bisa mencapai daya listrik hingga 1.600 MWe per unit, hal yang tidak mungkin dimiliki oleh teknologi pembangkit lainnya. Untuk memenuhi kebutuhan listrik yang besar dengan pertumbuhan mencapai 9% per tahun, hanya diperlukan membangun beberapa unit PLTN.
(wij/dnl)











































