Pengamat energi ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menilai memang tidak ada kesesuaian antara program, biaya, dan manfaat sehingga daripada dilanjutkan memang lebih baik dihentikan.
"Untuk mengurangi nozel pasti ada biaya. Sementara manfaatnya tidak signifikan, jadi buat apa?" ujarnya kepada detikFinance, Minggu (13/7/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara bila dibebankan ke APBN, menurutnya juga tidak relevan. Saat ini anggaran untuk belanja subsidi BBM sudah sangat besar.
"Kalau pengusaha sulit untuk membayar operasional. Terus kalau di APBN juga tidak mungkin dibebankan," katanya.
Hal yang sama, kata Komaidi, sebenarnya sudah terlihat dalam program Radio Frequency Identification (RFID). Sudah berjalan sekitar beberapa bulan, namun tidak ada dampak yang signifikan.
"Kemarin kan sudah ada RFID itu banyak dana dikeluarkan. Sementara yang dihemat tidak cukup signifikan dan di bawah ekspektasi," sebut Komaidi
Dari dua wacana tersebut, ditambah dengan pembatasan konsumsi BBM subsidi kendaraan dinas, perkebunan, dan pertambangan, menurutnya hanya maksimal menghemat 1 juta kiloliter (KL).
"Paling cuma 1 juta KL kalau semuanya dilakukan. Nggak terlalu berdampak untuk mengatasi defisit anggaran," tegas Komaidi.
Sebelumnya, Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Andy Noorsaman Someng mengatakan rencana untuk pengurangan nozel BBM bersubsidi tidak bisa diberlakukan.
"Rencana itu tidak bisa diberlakukan, apalagi dikurangi nozelnya di 59 kota/kabupaten nggak mungkin. Hasil rapat kemarin, program pengurangan nozel BBM subsidi hanya bisa dilakukan di Jakarta saja, itu pun masih di Jakarta Pusat," ungkap Andy.
Andy mengatakan, tidak bisa diterapkannya program pengurangan nozel BBM subsidi tersebut, karena jumlah nozel non subsidi di SPBU juga masih sangat minim. "Kita cari nozel BBM non subsidi di luar Jakarta saja lumayan susah, masih minim," katanya.
(mkl/hds)











































