"Adanya standar baku tersebut, kita berharap tidak ada lagi perdebatan berulang antara pemerintah dan DPR. Apakah akan menaikkan harga atau tidak," kata Koordinator Kelompok Kerja untuk Daya Saing Indonesia (KKDSI) UGM, Akhmad Akbar Susamto, PhD saat diskusi "Meluruskan Arah perdebatan Tentang Subsidi BBM' di kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (10/9/2014).
Menurut Akbar, perdebatan tentang subsidi BBM masih belum beranjak pada sikap setuju atau menolak kenaikan harga. Perdebatan terus terjadi dan berulang selama 15 tahun terakhir. Sementara persoalan utamanya belum tersentuh, yaitu bagaimana arah tata kelola energi nasional.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, lanjut dia, perdebatan hanya berfokus pada pertanyaan, perlu atau tidaknya pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi. Polemik hanya akan muncul di saat-saat genting dan kritis, misalnya saat harga minyak internasional naik drastis.
"Perdebatan itu terjadi justru saat pemerintah seharusnya mengambil keputusan cepat," kata staf pengajar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) UGM itu.
Dia juga menyayangkan, setelah terjadi perdebatan akan langsung menguap ketika sudah keluar putusan, tanpa ada pendalaman. Karena itum perdebatan mengenai subsidi BBM harus diarahkan pada upaya perumusan kriteria dan mekanisme baku penyesuaian harga BBM subsidi.
"Jangan lagi memperdebatkan apakah pemerintah harus menaikkan harga BBM atau tidak. Tetapi diarahkan pada pembahasan bagaimana mekanisme untuk menaikkan harga, beserta syarat-syaratnya," katanya.
Menurutnya, kriteria baku penyesuaian harga BBM subsidi mencakup kondisi-kondisi saat pemerintah secara otomatis dapat menyesuaikan harga BBM subsidi, tanpa harus menunggu persetujuan perubahan APBN oleh DPR.
Kriteria yang memungkinkan adalah batas maksimal besaran subsidi BBM, ukuran penghematan anggaran yang telah dan akan dilakukan pemerintah di luar penyesuaian harga BBM, serta ukuran daya dukung perekonomian, dan kesiapan tanggap darurat untuk masyarakat miskin.
"Jadi repetisi perdebatan kenaikan BBM subsidi yang tidak produktif harus dihindari. Sudah saatnya publik digiring untuk ikut memikirkan strategi pembangunan khususnya sektor energi di Indonesia," pungkas Akbar.
(bgs/dnl)