Renegosiasi Gas Tangguh Sukses, Negara Kantongi Rp 250 Triliun

Transisi Presiden

Renegosiasi Gas Tangguh Sukses, Negara Kantongi Rp 250 Triliun

- detikFinance
Kamis, 16 Okt 2014 07:45 WIB
Jakarta - Indonesia sampai saat ini masih tercatat sebagai eksportir gas alam cair (LNG) dengan harga murah. Hal ini terpaksa dilakukan, karena untuk memenuhi kontrak jangka panjang.

Dari produksi gas mencapai 6.897 juta kaki kubik per hari (mmscfd), sebanyak 43% diekspor ke luar negeri. Namun dalam pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Boediono 5 tahun terakhir, pemerintah berhasil merenegosiasi salah satu kontrak penjualan LNGm yakni gas Tangguh dari Papua ke Tiongkok.

Tim Renegosiasi kontrak yang saat itu dipimpin Menteri ESDM Jero Wacik, berhasil merayu Tiongkok menaikkan harga gas ekspor Tangguh dari yang sebelumnya US$ 3,3 per mmbtu menjadi naik US$ 8 per mmbtu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Keberhasilan renegosiasi kontrak gas Tangguh tersebut tentu disambut gembira. Karena negara mendapatkan tambahan Rp 250 triliun sampai pada tahun 2034, atau tiap tahunnya Rp 12 triliun.

Namun tentunya ini belum cukup, masih ada kontrak-kontrak jual gas dengan harga murah masih belum dapat direnegosiasi. Contohnya ekspor gas ke Korea Selatan (Posco dan K-Power) yang harganya hanya US$ 4,1 per mmbtu di mana kontraknya juga hingga pada 2034.

Tentu ini menjadi PR dan tantangan bagi pemerintahan yang baru Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK). Karena industri dalam negeri masih butuh banyak gas, bahkan di beberapa daerah industrinya kekurangan pasokan gas. Selain itu harga gas yang dibeli industri dalam negeri, baik itu PLN maupun perusahaan swasta, berkisar US$ 6-11 per mmbtu bahkan lebih. Contohnya PT Pupuk Iskandar Muda.

"Kita ini lagi repot sekali. Harga gas kita termahal di dunia," tegas Direktur Utama PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) Eko Sunarko beberapa waktu lalu.

Eko mengatakan, mahalnya harga gas yang dibeli oleh PIM karena berasal dari gas alam cair (LNG) dari Tangguh, Papua dengan harga US$ 10,5 per mmbtu. Padahal harga gas rata-rata pabrik Pupuk Sriwidjaja Palembang, Sumatera Selatan hanya US$ 4,5 per mmbtu.

Apalagi pada 2019 nanti, Indonesia akan menjadi importir gas, sementara sampai 2034 Indonesia akan terus ekspor gas. Seperti diketahui PT Pertamina (Persero) akan mengimpor gas alam cair (LNG) dari Texas, Amerika Serikat selama 20 tahun mulai 2019 sebanyak 1,52 juta ton per tahun.

Tentu ini pekerjaan yang tidak mudah bagi Joko Widodo dan Jusuf Kalla, karena Indonesia sudah impor BBM sangat banyak yang membuat defisit perdagangan, dan tidak lama lagi akan menjadi importir gas bumi.

(rrd/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads