Larangan ekspor mineral mentah tersebut membuat heboh. Perusahaan tambang sekelas PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara terpaksa tidak bisa ekspor lagi. Bahkan Newmont hampir 9 bulan menghentikan aktivitas penambangannya, karena larangan ekspor.
Dasar hukum pemerintah memang kuat, yakni melaksanakan kebijakan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pemberlakuan larangan ekspor tersebut tidak hanya membuat banyak perusahaan mineral tidak bisa ekspor. Negara juga awalnya harus 'menderita' karena pendapatan dari sektor pertambangan turun US$ 4 miliar.
Jero Wacik yang kala itu menjabat Menteri ESDM mengakui, memang dengan larangan ekspor tersebut di 2014 pendapatan negara dari sektor tambang turun US$ 4 miliar. Tapi, pada 2015 pendapatan mineral tambang ke negara surplus US$ 100 juta, Lalu 2016 meningkat tajam lagi menjadi surplus US$ 16 miliar, dan terus meningkat lagi tiap tahunnya.
Pasalnya, kebijakan larangan ekspor tersebut 'memaksa' perusahaan untuk membangun sektor hilir, atau mengolah bahan mentah menjadi bahan dengan nilai tambah. Caranya dengan membangun pabrik smelter.
Dengan mengolah tambang mentah menjadi bernilai tambah maka pemasukan ke negara lebih besar. Seperti nikel, dalam bentuk mentah hanya dihargai US$ 50 per ton, tapi bila diolah menjadi nikel mette atau ferronikel, harganya menjadi US$ 5.000 per ton, atau 100 kali lipat naiknya.
Tetapi, untuk mewujudkan hal tersebut tidak mudah. Ini menjadi tantangan Pemerintahan baru Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla untuk memastikan pembangunan smelter terealisasi.
Saat ini pemerintah masih memberikan dispensasi kepada perusahaan yang sudah mengolah setengah mineral tambangnya untuk mengekspor, namun dengan berbagai persyaratan terutama pengenaan bea keluar hingga 2017.
Setelah 2017 kita tunggu gebrakan dari Jokowi-JK.
(rrd/ang)











































