Menurut RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), PLTN bahkan seharusnya sudah dibangun di Indonesia dalam periode 2015-2019.
"Dari jajak pendapat yang kami lakukan, lebih dari 60 persen masyarakat Indonesia setuju adanya aplikasi teknologi nuklir untuk listrik," kata Agus Sumaryanto, Kepala Pusat Teknologi Gahan Galian Tambang Nuklir BATAN, ditemui baru-baru ini di Jakarta.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gencarnya upaya sosialisasi soal pemanfaatan nuklir untuk tujuan damai juga berperan. Misalnya di bidang pertanian, nuklir dipakai untuk rekayasa benih. Sedangkan di bidang kesehatan, bisa juga diaplikasikan untuk mendeteksi sekaligus mengobati kanker.
"Sosialisasi dilakukan untuk menunjukkan pada masyarakat, ini lho nuklir yang sebenarnya. Nggak usah takut," kata Agus.
Sedangkan untuk keperluan transfer ilmu, BATAN juga menyediakan beasiswa bagi lulusan SMA maupun perguruan tinggi yang ingin mendalami teknologi nuklir. Gratis, dan tidak ada kewajiban untuk bekerja di BATAN.
Namun berbagai upaya ini mendapat kritik dari juru kampanye iklim dan energi dari Greenpeace Asia Tenggara, Arif Fiyanto. Ancaman krisis listrik di 2018 dinilainya sebagai propaganda dan tidak bisa menjadi alasan untuk menerapkan nuklir sebagai pembangkit listrik.
"BATAN punya anggaran Rp 560 miliar untuk propaganda nuklir. Seharusnya bisa digunakan untuk mengembangkan energi terbarukan, yang tentunya lebih aman dan ramah lingkungan," tuding Arif.
Berkaca dari kecelakaan Fukushima, Arif juga mengkhawatirkan rendahnya budaya disiplin di Indonesia. Ditambah dengan kondisi geografis yang rentan bencana, risiko yang harus ditanggung untuk mengembangkan nuklir dinilainya terlalu besar.
(up/dnl)











































