Untuk saat ini, Faisal enggan menyebutkan nama-nama pihak yang ditengarai menjadi mafia migas.
"Kalau nggak diamanahkan, saya nggak mau ngomong," tegasnya di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Minggu (16/11/2014).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Institusi yang benar adalah yang mengedepankan transparansi, akuntabilitas, dan efektifitas. Kegiatan migas banyak yang efektivitasnya rendah," katanya.
Selain itu, lanjut Faisal, Komite Reformasi Tata Kelola Migas disarankan juga menjadi pendorong industrialisasi migas. Misalnya melalui pembangunan kilang-kilang minyak.
"Kalau kita nggak bangun kilang, kita kehilangan kesempatan untuk produksi kondenat yang merupakan bahan baku petrokimia. Impor barang plastik terbesar nomor 4, kimia organik terbesar ke-5. Bayangkan, kita nggak punya industri ini jadi kita impor banyak," paparnya.
Kemudian, tambah Faisal, Komite Reformasi Tata Kelola Migas juga aka bergerak untuk menjaga fiskal. Saat ini, APBN tengah mengalami defisit karena penerimaan migas lebih kecil dibanding pengeluarannya.
"Penerimaan negara dari PPh (Pajak Penghasilan) minyak dan bagi hasil minyak dibandingkan subsidi sekarang kan sedang defisit. Pendapatan lebih kecil dari pengeluaran migas," katanya.
Komite ini, demikian Faisal, juga akan melakukan sosialisasi mengenai minyak sebagai energi yang tidak terbarukan. Suatu saat minyak akan habis sehingga harus dicari solusinya.
"Saya ingin ada asas keadilan antar generasi dalam pengelolaan minyak. Kalau kita produksi sekarang, ke depannya produksi sedikit. Kita lihat dari hulu ke hilir, apa pusat syarafnya. Kalau itu dibenahi semoga jadi berkah, bukan kutukan," jelasnya.
(hds/hds)











































