Di balik penurunan harga minyak ini, muncul politik dagang dunia di antara para negara penghasil minyak. Tujuannya adalah agar pangsa pasar pada produsen minyak ini bisa terjaga, karena minyak jadi tulang punggung penerimaan negara mereka.
Arab Saudi sebagai produsen minyak terbesar di dunia sedang memiliki rencana. "Arab Saudi penentu harga minyak," kata Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Memang dalam pertemuan antar negara produsen minyak dunia, yang tergabung dalam OPEC beberapa waktu lalu, Arab Saudi menolak menahan produksi minyaknya.
Penurunan produksi minyak dunia menjadi salah cara untuk menahan jatuhnya harga saat ini. Ada kepentingan Arab Saudi di sini.
Bambang menuturkan, di Arab Saudi, biaya memproduksi 1 barel minyak mentah adalah yang paling murah, yaitu sekitar US$ 10-US$ 20. Sementara Iran yang juga
produsen minyak, biaya produksi 1 barel minyak mentah adalah US$ 40-US$ 50 per barel. Bayangkan, bila harga sekarang sudah di bawah US$ 50 per barel, bisa dibilang Iran rugi menjual minyaknya.
Lantas kenapa Arab Saudi tidak menahan kejatuhan harga minyak ini?
Dijelaskan Bambang, tengah terjadi perang adu harga dan adu stamina di antara negara produsen minyak dunia saat ini. Maksudnya adu stamina adalah, merelakan anggarannya tergerus, karena penurunan harga minyak akan membuat penerimaan negara jatuh.
"Saudi itu perangnya (harga minyak) menghadapi multiple enemies," jelas Bambang.
Tujuan Arab Saudi membiarkan harga minyak jatuh adalah agar shale oil yang sedang booming di Amerika Serikat (AS) tidak menjadi subtitusi dari minyak yang merupakan tulang punggung penerimaan Arab Saudi.
Β
Selain AS, korban yang diincar adalah Rusia sebagai produsen minyak terbesar kedua dunia setelah Arab Saudi. "Jadi Arab Saudi tidak nyaman dengan Rusia, karena potensi cadangan minyak Rusia masih luas," ujar Bambang.
Kembali ke soal adu stamina, Bambang mengatakan, Arab Saudi yang biasanya anggarannya surplus besar, tapi di tahun ini defisit sampai sekitar Rp 400 triliun.
"Katanya defisit ini pertama kali dalam sejarah. Jadi Saudi itu rela anggarannya defisit. Namun ada yang anggarannya lebih parah, yaitu korbannya Rusia, Venezuela, dan Oman bisa kolaps bujetnya," cerita Bambang.
Untuk Rusia sendiri, saat ini ekonominya memang tengah menderita karena sanksi dari AS dan negara-negara Eropa barat. Penurunan harga minyak makin membuat
ekonomi negara ini merana.
Sampai kapan harga akan terus turun? Bambang menyatakan, tidak ada yang bisa menebak ke mana harga minyak akan bergerak.
"Banyak yang memperkirakan harga minyak rendah berlangsung dalam setahun, karena adu harga dan adu stamina," kata Bambang.
Untuk Indonesia juga tidak mudah, kondisi harga minyak yang terjun bebas ini membuat penerimaan negara terancam turun. Alasannya, perusahaan penambang minyak akan menahan investasinya, karena harga jatuh, sementara biaya produksinya tinggi.
Indonesia saat ini mengandalkan sumur-sumur minyak tua yang biaya produksinya tinggi. Sumur minyak muda di Indonesia hanya di Cepu saja.
"Jadi sekarang banyak yang bilang tidak menguntungkan. Tidak masuk akal jual murah, investor pasti hold. Tidak usah menambang sekarang. Ini berpengaruh kepada lifting. Apalagi sumur minyak kita sudah tua semua. Jadi untuk menggenjot, harus pakai teknologi Enhanced Oil Recovery (EOR), dan ini membuat biaya produksi jadi makin tinggi. Jadi sulit membayangkan lifting tercapai. Lifting turun, penerimaan pasti turun," papar Bambang.
Dalam Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2015, pemerintah Joko Widodo (Jokowi) dan Jusuf Kalla (JK) mengajukan asumsi harga minyak Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) di US$ 70/barel, ini sulit dicapai.
"Prediksinya ada yang bilang, harga minyak tertinggi tahun ini akan terjadi di triwulan terakhir, yaitu sekitar US$ 60 per barel. Bisa saja tidak segitu," kata Bambang.
Karena itu, tidak ada jalan lain, pemerintah akan menggenjot penerimaan pajak yang ditargetkan naik tinggi, yaitu sekitar 40%, dari realisasi sekitar Rp 897
triliun tahun lalu, menjadi sekitar Rp 1.250 triliun tahun ini. Pemerintah tak mau menambah utang, karena ada risiko di pasar keuangan, dan juga risiko politik dari penambahan utang ini.
"Jadi harus ada extra-extra effort untuk pajak," kata Bambang.
(dnl/ang)











































