Pusingnya Pemerintah Mengurusi TPPI Warisan Krismon 1998

Pusingnya Pemerintah Mengurusi TPPI Warisan Krismon 1998

- detikFinance
Selasa, 20 Jan 2015 08:54 WIB
Pusingnya Pemerintah Mengurusi TPPI Warisan Krismon 1998
Ilustrasi kilang
Jakarta - Sepekan lalu, 13 Januari 2015, sejumlah menteri ekonomi berkumpul di Kantor Kemenko Perekonomian. Mereka membahas aset yang penting namun menganggur tak digunakan yakni kilang Trans Pacific Petrochemical Indonesia (TPPI). Usai rapat, yang terucap dari para menteri adalah rumit dan pusing.

"Aduh, kondisinya rumit sekali. Tadi rapat nggak ada hasilnya. Saya barangkali pilihannya harus kita pailitkan saja, lalu besi tua bisa dijual. Nggak ada pilihan lain, siapa yang mau hidupkan lagi TPPI?" ungkap Menko Perekonomian Sofyan Djalil usai memimpin rapat tersebut.

Pusingnya pemerintah disebabkan kilang TPPI memiliki masalah hukum dan utang yang menumpuk. Hingga saat ini, masalah itu belum kunjung selesai sejak pemilik TPPI dulu, Honggo Wendratno, tidak dapat membayar utang Rp 2,83 triliun ke negara pasca krisis moneter 1998.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara pemerintah membutuhkan kilang TPP agar dapat menambah produksi bensin RON 92 sekelas Pertamax lebih banyak. Saat ini Indonesia hanya memiliki kilang Balongan dengan produksi sebanyak 200.000 barel/bulan.

"Produksi kilang Pertamina yang menghasilkan RON 92 hanya 200.000 barel/bulan. Itu pun hanya di kilang Balongan," kata Direktur Pemasaran Pertamina Ahmad Bambang.

Jika aset kilang TPPI bisa dioperasikan, maka akan menambah produksi bensin RON 92 sebanyak 45.000 barel/hari.

Mengapa masalah TPPI begitu rumit?

Berdasarkan data Tuban Petro yang dikutip detikFinance, Selasa (20/1/2015), akibat pemilik lama TPPI tidak mampu melunasi utangnya ke negara, pemerintah mengambil alih aset TPPI di bawah pengawasan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Akibat lembaga yang bertugas menyelesaikan aset bermasalah dan mengupayakan pengembalian uang negara yang tersalur pada sektor perbankan ini banyak disorot, Presiden Megawati Soekarnoputri saat itu membubarkannya pada 27 Februari 2004.

Namun sebelum BPPN dibubarkan, BPPN mendirikan PT Tuban Petrochemical Industries (TubanPetro) pada 2001 untuk mengelola 3 perusahaan milik Honggo Wendratno, yakni TPPI, PT Polytama Propindo (Polytama), dan PT Petro Oxo Nusantara (PON). Karena BPPN dibubarkan, 3 perusahaan ini di bawah kendali PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA).

Masalah makin rumit sejak 27 November 2012 Tuban Petro memiliki utang pokok, bunga, dan denda kepada 362 kreditur senilai Rp 17,88 triliun. Utang tersebut terdiri dari kreditur separatis (kreditur pemegang hak jaminan kebendaan yang dapat bertindak sendiri) Rp 9,746 triliun dan kreditur konkuren (kreditor yang harus berbagi dengan para kreditor lainnya secara proporsional) Rp 8,135 triliun.

Utang separatis tercatat kepada 12 kreditur dengan porsi terbesar adalah Pertamina Rp 4,135 triliun. Lalu ke JGC Corporation Rp 2 triliun, SKK Migas (dulu BP Migas) Rp 1,348 triliun, United Overseas Bank Ltd Rp 932 miliar, Polytama International Finance BV Rp 372 miliar, dan sisanya milik 7 kreditur lainnya.

Untuk utang konkuren tercatat kepada 350 kreditur dengan porsi terbesar Pertamina Rp 2,444 triliun. Disusul Argo Capital BV Rp 1,61 triliun.

Mengapa TPPI milik Honggo Wendratno ini berkaitan dengan BPPN?

Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Minyak dan Gas Bumi Faisal Basri mengungkapkan, Honggo Wendratno membeli TPPI dengan mengandalkan utang kepada Bank Century (saat ini bernama Bank Mutiara). Sementara Bank Century mengalami kredit macet saat krisis ekonomi sehingga ditangani oleh BPPN.

"Makanya KPK menyoroti masalah TPPI ini, karena dikhawatirkan jika dioperasikan kembali kilang TPPI akan menguntungkan pemilik lamanya yakni Honggo. Walapun di daftar pemegang saham Honggo tidak tercantum lagi, tapi ia masih punya 'kuasa' di dalam TPPI," jelas Faisal.

PPA sendiri sudah pernah ingin mengeksekusi aset Tuban Petro (termasuk di dalamnya ada TPPI) pada 2013. Pasalnya pada 26 Maret 2013 utang Tuban Petro sudah jatuh tempo.

PPA saat itu mengeluarkan default notice atau pemberitahuan tidak mampu menyelesaikan kewajiban. Bila Tuban Petro tak membayar utangnya hingga batas waktu, maka PPA berhak mengeksekusi jaminan dan menagih kepada Honggo Wendratno selaku pemilik Tuban Petro sebagai pemberi jaminan pribadi atas utang tersebut. Termasuk dalam jaminan pribadi Honggo itu adalah 59,5% saham TPPI yang dimiliki Tuban Petro.

Selain juga, PPA bisa mengeksekusi jaminan pribadi Honggo lainnya berupa 80% saham PT Polytama Propindo, 50% saham PT Petro Oxo Nusantara, 30% saham Tuban Petro milik PT Silakencana Tirtalestari, tagihan Tuban Petro kepada PT Tirtamas Majutama (Zero Coupon Bond), dan 3rd Rank Fixed Asset TPPI.

Namun, hingga sampai saat ini, pemerintah maupun PPA belum dapat mengeksekusi TPPI.

(rrd/hds)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads