Akibatnya, banyak perusahaan yang mengurangi bahkan sampai menyetop produksi sementara, sampai stok yang dimiliki bisa terserap oleh pasar. Buntut dari pengurangan produksi ini adalah karyawan yang dirumahkan dengan batas waktu yang tak ditentukan, hingga ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Maka dari itu, besar harapan pelaku usaha bisnis batu bara supaya pemerintah bisa turun tangan mengembalikan industri ini seperti masa jayanya sebelum krisis 2008 silam.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Inti masalahnya adalah harga yang terus merosot, ini yang harus dicari solusinya," katanya ketika dihubungi detikFinance, Kamis (12/2/2015).
Yang jadi masalah saat ini adalah stok batu bara melimpah sementara permintaan makin rendah. Negara-negara tujuan ekspor batu bara juga sudah mulai mengurangi ketergantungan, salah satunya dengan menggenjot produksi dalam negeri.
Indonesia juga harus mulai lakukan hal serupa. Stok batu bara melimpah itu harus banyak diserap oleh konsumsi dalam negeri. Caranya dengan apa? Dengan mempercepat proyek listrik 35.000 megawatt (MW) yang sudah ada dalam wacana pemerintah.
"Kalau harga (batu bara) makin stabil, maka perusahaan bisa mulai membayar kembali bunga bank, bayar lagi kontraktor, tidak ada PHK dan lain-lain yang bisa bikin ribet. Semuanya akan membaik," imbuhnya.
Ia menambahkan, ancaman PHK itu datang dari beberapa perusahaan tambang yang setop produksi. Perusahaan-perusahaan itu diketahui mulai mengalami kesulitan setelah perbankan tak mau lagi mengucurkan pinjaman.
"Kita ini sudah di titik mengkhawatirkan. Konsekuensi 2-3 tahun terakhir ini adalah lembaga perbankan melakukan pengereman, tidak beri fasilitas lagi. Banyak (perusahaan) yang nilainya merah dan gagal bayar. Banyak juga yang tutup, makanya bank mengerem," ujarnya.
Sayangnya, bisnis batu bara sendiri diprediksi masih akan sulit tahun ini. Harga jual batu bara di pasar internasional juga belum menunjukkan tanda-tanda perbaikan.
(ang/dnl)











































