Hal tersebut diungkapkan Craig Stewart, Presiden Indonesian Petroleum Association (IPA) atau asosiasi perusahaan minyak di Indonesia, ketika ditemui di Hotel Dharmawangsa, Jakarta, Kamis (9/4/2015).
"Itu yang menjadi keluhan kami selama ini. Salah satu risikonya adalah politisasi dari cost recovery. Fokus pada cost recovery malah tidak cukup fokus pada produksi migas. It's the wrong balance," kata Stewart.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi sebenarnya tidak diharapkan rendah jumlahnya, tetapi juga tidak diinginkan terlalu tinggi. Tetapi di Indonesia selama ini fokusnya salah, justru fokus pada biaya, tetapi tidak fokus pada apa yang harusnya dilakukan yaitu produksi," jelas Steawart, yang merupakan President Salamander Energy Indonesia.
Seperti diketahui, awalnya Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) meminta dana cost recovery tahun ini sebesar US$ 16,5 miliar. Namun berdasarkan pembahasan dengan DPR, hanya disepakati US$ 14,05 miliar.
Di tempat yang sama, Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri menambahkan, kisruh terkait cost recovery selama ini terjadi karena masuk dalam APBN. Yang terjadi, SKK Migas diminta untuk menekan cost recovery oleh DPR namun di sisi lain produksi harus naik.
"Tentu tidak bisa. Kalau cost recovery ditekan, produksi migas nasional turun. Kalau mau naik produksinya, cost recovery makin besar," tutur Faisal.
(rrd/hds)











































