"Jadi di Singapura itu punya bunker BBM dengan kapasitas 47 juta kiloliter (KL)/tahun. Sementara di Indonesia hanya punya bunker BBM kapasitas 1,6 juta KL/tahun. Kita negara sebesar ini bunkernya hanya 1,6 juta KL, mereka negara sekecil itu punya 47 juta KL," ungkap Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Ferdy Novianto, ditemui di kantornya, Rasuna Said, Jakarta, Senin (13/4/2015).
"Bunker 47 juta KL milik Singapura itu, 80%-nya adalah MFO (Marine Fuel Oil) jenis 380. Jenis MFO ini adalah sampah atau ampas dari kilang ini dicampur-campur jadinya proyek blending atau MFO 380, makanya sangat murah," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi kita harus bikin fasilitas blending di Batam, jadi kita beli minyak-minyak 'kelas kambing' yang lebih murah, lalu blending jadi lebih murah," katanya.
Ferdy menambahkan, Indonesia pada zaman Presiden BJ Habibie membangun Bandara Hang Nadim, di Batam dengan landasan (runway) terpanjang di Indonesia mencapai hampir 4 km. Tujuannya ingin bersaing dengan bandara Changi di Singapura.
"Di bandara Hang Nadim punya kapasitas tangki avtur 4 x 10.000 KL atau 40.000 KL. Tapi di Batam konsumsi avturnya hanya 200 KL per hari, kalau konsumsinya hanya segitu, tangki 40.000 KL itu baru 1,5 tahun habisnya," katanya.
Ia mengatakan lagi, Singapura berhasil 'mematikan' bisnis bandara dan avtur Indonesia di Batam. Agar tidak terjadi pada rencana Pertamina bermain di Selat Malaka, Pertamina memposisikan diri sebagai pelengkap pasar BBM di Selat Malaka.
"Nggak tahu bagaimana Singapura mematikannya, tapi pokoknya kita tidak laku saja. Sekarang penduduk Singapura hanya 4 juta jiwa, tapi penumpang pesawatnya puluhan juta setahun, di Batam itu tidak sampai 700.000 penumpang setahun. Avtur di Jakarta saja hanya 3.000 KL per hari, di Changi Singapura konsumsi avturnya 23.000 KL per hari," tutupnya.
(rrd/dnl)