Menteri ESDM Sudirman Said menilai, langkah pembubaran Petral bukan hal yang luar biasa. Menurutnya, pembubaran tersebut memang harus dilakukan sebagai antisipasi menjamurnya sarang mafia di sektor migas.
"Saya ditanya kok berani? Loh, kok nggak beraninya dari mana? Ini bukan sesuatu yang luar biasa, kalau mafia itu kan ter-organize, di mana tidak hanya regulasi, tapi politisi bayar keamanan, ini soal keberanian memberantas yang menyogok, menurut saya bukan hal luar biasa, modalnya penegaan (tega), ini sesuatu yang sederhana," tegas dia di acara diskusi Energi Kita di Restoran Bumbu Desa, Cikini, Jakarta, Minggu (17/5/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Petral ini, kata Sudirman, sejak dipegang menteri zaman pemerintahan Presiden Soesillo Bambang Yudhoyono (SBY), masalahnya selalu gagal di kantor presiden (istana).
"Itulah sebabnya saat saya dipanggil presiden sebelum jadi menteri, pertanyaan pertama, gimana soal Petral, saya jawab, dulu soal Petral, selesainya di sini (di kantor presiden) presiden tidak setuju, jadi selesai di sini. Ini transaksi besar dan dikaitkan dengan politik," ucap dia.
Transaksi besar ini terbukti. Sudirman menyebut, sejak dibubarkannya Petral, Pertamina bisa menghemat US$ 22 juta.
"Transaksi yang beredar tiap hari US$150 juta atau Rp 1,7 triliun per hari, kebutuhan impor minyak Pertamina, sejak dibubarkan efisien US$ 22 juta atau Rp 250 miliar," sebut dia.
Menurutnya, keputusan pembubaran Petral ini sama halnya dengan keputusan penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Yang perlu dilakukan adalah soal keberanian dan ketegasan.
"Subsidi BBM itu penyakit APBN yang puluhan tahun didiskusikan tapi tidak ada keberanian untuk menyelesaikannya, memang pahit, sakit, tapi ya memang harus dilakukan, tapi beliau bilang saya bukan presiden yang takut tidak populer," jelas dia.
(drk/ang)











































