Pengusaha SPBU: Pertamax Tak Boleh Naik, Kalau SPBU Asing Dibiarkan

Pengusaha SPBU: Pertamax Tak Boleh Naik, Kalau SPBU Asing Dibiarkan

- detikFinance
Senin, 18 Mei 2015 10:30 WIB
Pengusaha SPBU: Pertamax Tak Boleh Naik, Kalau SPBU Asing Dibiarkan
Jakarta - Bisnis penjualan bahan bakar minyak (BBM) melalui SPBU di Indonesia, tidak hanya dilakukan PT Pertamina (Persero) saja, tetapi ada pula PT Shell Indonesia melalui SPBU Shell, dan PT Total Indonesia melalui SPBU Total, serta PT AKR Corporindo lewat SPBU AKR.

Keempat perusahaan ini bersaing menjual BBM non subsidi, seperti bensin RON 92 dan RON 95. Di mana misalnya RON 92 Pertamina punya Pertamax, Shell punya Super, Total ada Performance 92. Persaingan bisnis ini tidak hanya dari segi kualitas dan pelayanan, tapi yang utama adalah dari sisi harga, tidak jarang terjadi perang harga antara mereka.

"Mereka semua bersaing, memperebutkan konsumen. Mana yang pelayanan baik, kualitas bagus, harga bersaing konsumen beli BBM-nya," kata Ketua Umum Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas Bumi (Hiswana Migas) Eri Purnomohadi kepada detikFinance, Senin (18/5/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Eri mengatakan, sejak pertama kali RON 92 dan 95 dijual di SPBU, harganya pun ditentukan oleh harga pasar terutama MOPS (Mean of Platts Singapore) dan kurs rupiah terhadap dolar AS.

"MOPS ini harganya setiap hari berubah, kurs juga. Tapi biasanya SPBU di Indonesia baik itu Pertamina, Shell, Total, AKR selalu melakukan penyesuaian harga apakah naik atau turun harganya setiap awal bulan dan pertengahan bulan. Masyarakat sudah tahu dan biasa saja kalau BBM non subsidi ini harganya naik-turun," kata Eri.

Eri mengungkapkan, namun saat ini justru ikut campur atau intervensi pemerintah terhadap Pertamina, bisa diartikan sebagai bentuk diskriminasi terhadap BUMN ini. Ia mencatat sudah ada dua diskriminasi yang dilakukan pemerintah termasuk DPR terhadap Pertamina.

"Pertama soal Pertalite RON 90. DPR ikut intervensi, di mana sebelum diluncurkan harus izin Komisi VII DPR terlebih dahulu. Sementara SPBU Shell ketika meluncurkan V-Power, DPR tidak minta Shell harus izin mereka terlebih dahulu. Yang pentingkan produk Shell memenuhi persyaratan dan spesifikasi yang ditetapkan pemerintah," ungkap Eri.

Ia menambahkan, diskriminasi kedua yang baru saja terjadi yakni pemerintah intervensi ketika Pertamina mau naikkan harga Pertamax dan harus dibatalkan. Pertamina rencananya menaikkan harga Pertamax dari 8.800/liter ke Rp 9.600/liter.

"Pertanyaan saya, kalau Shell atau Total naikan harga produknya jadi Rp 15.000/liter, pemerintah boleh batalin nggak? Nggak mungkin kan," katanya.

"Seharusnya BUMN kita itu didukung, tapi ini kebalik, yang asing malah bebas berbisnis tanpa ada tekanan apapun dari pemerintah apalagi DPR," tutup Eri.

(rrd/hen)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads