Bupati Sarolangun, Jambi, Cek Endra menceritakan, dirinya telah dikecewakan oleh PT Pertamina (Persero) dan PT PLN (Persero). Ia menganggap kedua BUMN ini terlalu komersil untuk kepentingan daerahnya.
"Saya mau sampaikan di Sarolangun ada lapangan minyak, itu dikelola Pertamina, dulu produksi minyaknya 4.000 barel per hari, sekarang 3.000 barel per hari. Sekarang dikelola KSO dengan swasta yakni PT Samudra Energy mulai 2014, sebelumnya full dikelola Pertamina," kata Endra dalam acara Sarasehan dengan Daerah Penghasil Migas Seluruh Indonesia, di Hotel Senyiur, Balikpapan, Kalimantan Timur, Kamis (25/6/2015).
Endra mengungkapkan, sebelum beralih menggandeng KSO PT Samudra Energy, Pertamina pernah berjanji menggandeng BUMD Sarolangun dengan pembagian saham 30%. "Itu janji tapi tidak tertulis. Kita padahal sudah fasilitasi perizinan semua, kita mudahkan. Tak tahunya 30% itu nggak dapat, 10% nggak pernah ditawarkan," katanya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami ada BUMD punya pembangkit listrik kapasitas 5 Megawatt (MW), kita mau manfaatkan gas buang tadi, selama ini dibuang saja kan. Tapi pas kita minta, mereka (Pertamina) minta harga US$ 4,5 per juta kaki kubik, harusnya digratiskanlah ke BUMD, lah ini malah minta bayar mahal," ungkapnya.
Tidak hanya Pertamina, dirinya juga dikecewakan oleh PT PLN. Ceritanya, pihaknya melakukan jual-beli listrik ke PLN, namun BUMN listrik ini hanya menawarkan kontrak selama 1,5 tahun. Padahal pihaknya berkontrak dengan swasta dengan PT Samudra Energy bisa 5 tahun.
"Gawat ini kalau diperlakukan kayak begini, kalau sudah putus kontrak nggak dibayar listrik kami. Beda visinya ESDM yang katanya mau terang benderang Indonesia, ini malah PLN hambat kami. Sulit kami, kalau mau dirikan PLTU nggak sulit buat kami karena kami punya batu bara, tapi sama PLN sulit urusannya," ungkapnya.
Mendengar curhatan Endra, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja mengatakan, pihaknya akan mengkomunikasikan permasalahan flare gas tersebut ke PT Pertamina EP yang mengelola lapangan minyak.
"Akan kita komunikasikan dengan Pertamina EP soal gas flare yang terbuang, mini refinary kita sudah ada 8-10 titik untuk kita rencanakan bangun, saya belum tahu Sarolangun masuk atau tidak. Mampaknya daerah bapak juga sudah masuk kaya Tempino, kita fokuskan mini refinary ini di mana produksinya nggak terlalu besar tapi pengangkutannya jauh sekali," ungkapnya.
"Tapi tetap harus kerjasama dengan Pertamina, nilai investasi per unit mini refinary saya lupa. Tapi sehari kita akan pasang 15 ribu barel seharinya. Dalam waktu dekat akan kita bangun," tutup Wiratmaja.
Menanggapi keluhan Bupati Sarolangun, Jambi, Cek Endra, Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro menjelaskan, bahwa lapangan minyak yang dimaksud, dikelola oleh KSO Meruap, operatornya bukan Pertamina. Pertamina memang memiliki saham di lapangan tersebut.
"Wilayah tersebut saat ini sedang dikelola melalui KSO Meruap terhitung mulai 12 Juli 2014, selama 20 tahun dan saat ini sedang masa 3 tahun pemenuhan Komitmen Pasti (detail ada dalam kontrak). Kedua, Ada keinginan Bupati untuk dapat ikut serta dalam pengelolaan lapangan minyak melalui BUMD sebesar 30%. Tapi terkendala karena dalam Perjanjian antara Pertamina EP dan KSO menyatakan, pengalihan saham diperbolehkan bila telah memenuhi Komitmen Pasti, sedangkan pekerja belum mencapi 1 tahun. Kedua nilai komersial yang ditawarkan oleh pihak BUMD untuk mendapatkan saham 30% sangat kecil sehingga tidak didapat kesepakatan," jelas Wianda.
Ia menambahkan, dapat dijelaskan bahwa proses ini masih dalam hubungan bisnis antara PT Samudera Energy/KSO dan BUMD.
Terkait masalah Flare Gas, Wianda mengatakan, bahwa flare gas tersebut telah dimiliki Perjanjian Jual Beli-Gas (PJBG) antara Pertamina EP dan BUMD yang ditandatangani 15 Mei 2013, dengan masa tenggat persiapan selama maksimal 5 bulan.
"Sampai dengan masa tengat persiapan tersebut belum terbangun infrastruktur sehingga perjanjian belum bisa berjalan. Selain itu harga yang terdapat dalam PJBG merupakan harga yang ditetapkan Pemerintah. Saat ini sedang dilakukan amandemen agar Perjanjian bisa berjalan dengan mengacu harga pada tahun 2013 yang seharusnya telah mengalami ekskalasi," tutup Wianda.











































