Kelemahan RI: Tambang Banyak, Tapi Tak Tahu Data Cadangan

Kelemahan RI: Tambang Banyak, Tapi Tak Tahu Data Cadangan

Muhammad Idris - detikFinance
Kamis, 06 Agu 2015 18:53 WIB
Jakarta - Indonesia dikenal sebagai negara dengan sumber daya alam (SDA) yang kaya. Sumber daya mineral di negeri ini juga melimpah, dan banyak eksplorasi yang dilakukan. Tapi anehnya, Indonesia tidak tahu persis berapa data cadangan tambangnya sendiri.

Syamsu Daliend, Kepala Subdirektorat Pengawasan Produksi, Operasi, dan Pemasaran Mineral Kementerian ESDM mengatakan, karena itu sejak dulu kontrak pertambangan dibuat dengan area konsesi yang luas, sehingga ada kepastian usaha dari perusahaan tambang.

"Sampai sekarang ini kita sendiri tidak tahu berapa sih cadangan kita. Dan dulu kenapa diberi kontrak karya dalam satu paket, itu alasannya agar ada kepastian usaha," kata Syamsu dalam diskusi soal smelter, di Hotel Atlet Century, Jakarta, Kamis (6/8/2015).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Soal smelter atau pabrik pemurnian mineral yang sekarang masih menjadi pro dan kontra, ujar Syamsu, sebenarnya bukanlah barang baru. Masalah smelter ini ribut karena Undang-Undang No.4 Tahun 2009 soal Mineral dan Batu Bara (Minerba). Di dalamnya, disebutkan Indonesia tidak boleh lagi melakukan ekspor tambang atau mineral mentah sejak awal 2014 lalu.

Hal ini untuk mendorong pembangunan pabrik pemurnian tambang (smelter) di dalam negeri, sehingga ada nilai tambah di industri pertambangan.

Menurut Syamsu, sejak UU No.11 Tahun 1967, hilirisasi pertambangan sudah diamanatkan. Namun karena tidak ada kepastian data cadangan, investor masih berpikir untuk membangun smelter. Karena pembangunan smelter ini memerlukan kepastian pasokan tambang mentah.

"Sebenarnya kewajiban bikin smelter sudah ada di UU No.11 Tahun 1967. Jadi kenapa kita ribut-ribut harus bangun smelter, bukan karena ada UU No.4 Tahun 1967 itu, tapi memang sudah ada dari dulu. Menyebutkan langsung hilirisasi harus dilakukan dalam satu paket," jelas Syamsu.

Bila kepastian jumlah cadangan tidak ada, maka pembangunan smelter bisa tidak berguna. Karena investasi smelter ini mahal, tak hanya untuk mesin tapi juga infrastruktur, terutama listrik.

"Kayak padi sama saja kan logikanya, kalau sawahnya 10 hektar, masa pabriknya ada 10 biji yah tidak baik. Makanya buat smelter juga harus ada kepastian datanya," kata Syamsu.

"Di kita data cadangan belum akurat, hambatan lain, sektor pendukungnya yaitu infrastrukturnya belum ada. Ini jadi persoalan sejak lama. Karena untuk dirikan smelter harus ada infrastruktur untuk mobilisasi peralatan untuk bangun smelter. Ketiga juga energi. Bayangkan, terakhir tahun lalu di Bali, itu kita defisit listrik kita untuk kebutuhan nasional itu 75 ribu MW, pertumbuhan listrik kita lebih dari 6% per tahun. Kalau dilihat sekarang minimum defisit kita mungkin sudah 100 ribu MW," papar Syamsu.

Jadi, kata Syamsu, harusnya energi dibangun terlebih dahulu, baru setelah itu infrastruktur akan menyusul. Bahkan, konsumsi energi per kapita di Indonesia dalah 3.000 kwh, sementara negara-negara tetangga Indonesia sudah 13.000 kwh.

"Itu korelasinya dengan smelter, kita butuh energi sangat besar. Seperti feronikel, itu butuh energi besar, makanya Vale bangun 3 pembangkit sekaligus buat suplai energinya (ke smelter). Di Pomala juga ada dua unit buat cover energinya," ujar Syamsu.

(dnl/hen)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads