Bahkan dari proyek ini sudah menghasilkan minyak untuk dijual ke PT Pertamina (Persero) sebanyak 380.000 barel. Minyak tersebut disimpan di dalam Kapal Floating Production, Storage and Offloading (FPSO) Ratu Nusantara. Kapal ini adalah fasilitas produksi, penyimpanan, dan pengangkutan terapung minyak mentah yang diproduksi Petronas di Lapangan Bukit Tua.
detikFinance bersama rombongan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), Jumat (14/8/2015) berkesempatan mengunjungi proyek yang sahamnya 80% dimiliki oleh Petronas, dan 20% sahamnya dimiliki oleh PT Saka Ketapang Perdana, anak usaha PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain memiliki kapal FPSO, di lapangan ini juga memiliki satu anjungan minyak dengan kaki empat, yang digunakan untuk produksi migas. Ada cerita menarik, awalnya Petronas sudah membangun satu anjungan minyak dengan kaki tiga. Di mana kaki-kaki anjungan ini sampai ke dalam laut sedalam 60 meter.
Namun setelah jadi, anjungan ini ternyata miring, karena dasar laut mengalami penurunan (amblas). Akhirnya, anjungan tersebut terpaksa dipotong dan dipindahkan ke lokasi yang hanya berjarak beberapa meter dari anjungan pertama, namun anjungan yang dibangun memiliki kaki empat, untuk mencegah kejadian sebelumnya terulang.
Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi, memastikan, untuk biaya anjungan yang amblas tadi, tidak akan masuk dalam klaim cost recovery yang dibayarkan oleh negara.
"Itu tidak masuk ke cost recovery, tapi Petronas tidak rugi, karena proyek itu sudah dicover asuransi. Tapi untuk anjungan yang baru, dan sudah menghasilkan minyak serta ekonomis, baru dapat diklaim cost recovery," tambah Amien.
Produksi dari lapangan Bukit Tua ini cukup besar, untuk minyak produksi puncaknya mencapai 20.000 barel per hari, sedangkan gas bumi sebanyak 50 juta kaki kubik per hari (mmscfd).
"Saat ini produksi minyaknya masih 4.000 barel karena baru satu sumur, sedangkan gas nya baru produksi 3 mmscfd, karena kecil gas-nya kita flare (bakar), karena tidak ekonomis, nanti kalau sudah di atas 14 mmscfd, gasnya baru ekonomis dan bisa dikirim melalui pipa Onshore Receiving Facility (ORF) atau fasilitas penerimaan di darat di Gresik, Jawa Timur. Nantinya gas tersebut digunakan untuk pembangkit listrik Jawa-Bali," tutup Hazli.
(rrd/hen)