Sayangnya, untuk memanfaatkan menjadi listrik justru terhambat birokrasi atau perizinan. Seperti memanfaatkan air untuk jadi listrik, tidak kurang ada 86 izin.
Hal ini seperti diungkapkan Senior Manajer Hydro Power Plant PT PLN (Persero) Setyo Siswanto ditemui detikFinance pada sesi diskusi Aneka Energi Baru Terbarukan di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (20/8/2015).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meski potensinya besar kata Setyo, tantangan membangun PLTA masih banyak. "Soal izin, butuh 86 izin, itu sangat banyak. Sempat dibuat upaya menyederhanakan dengan pilot project, tapi masih belum bisa diterapkan juga," ujar Siswanto.
Ia menambahkan, tantangan lainnya investasi PLTA masih cukup mahal. "Tiap 1 megawatt (MW) butuh dana mencapai US$ 2,5 juta dan risiko tinggi karena kondisi alam. Selain itu, dari segi lingkungan, di mana PLTA tumbuh di daerah aliran sungai (DAS) sehingga waduk cuma dapat lumpur (sedimentasi)," ungkapnya.
Untuk pengembangan 'harta karun' energi di Indonesia, PLN menargetkan sampai 2024 dikembangkan pembangkit listrik sebanyak 16.553 MW.
"Masterplan PLN akan kembangkan 16.553 MW renewable energy sampai 2024 dengan bauran energi 20%," katanya.
Seperti diketahui, Kementerian ESDM melalui Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) mematok bauran energi lebih tinggi hingga 2024 yaitu 23%. Presiden Jokowi bahkan menarget 25% atau 5% lebih tinggi dari target PLN saat ini. Tapi, target 25% bauran energi berasal dari energi baru terbarukan (EBT) juga termasuk pembangkit yang dibangun pihak swasta.
Siswanto menjelaskan sumber EBT paling potensial dimiliki PLN yaitu PLTA, baru kemudian geothermal, mikrohidro, surya, angin, gelombang laut, hingga biomassa.
"PLN hingga saat ini punya pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang sudah terinstall mencapai 3.407 MW dan IPP 537 MW, total 3.949 MW. Geothermal pada 2024 kami planning terpasang 3,4 gigawatt," tutupnya.
(rrd/hen)











































