"Saat itu pas saya bangun SPBG regulasi belum jelas. Gasnya disuplai dari PGN. Akhirnya karena tidak ada yang beli jadi rugi dan sekarang sudah bangkrut. Jadi prinsipnya harus serius pemerintah dalam hal konversi," kata Direktur Utama PT Sugih Energy Tbk (SUGI), Andhika Anindyaguna ditemui di Gedung Bidakara, Jakarta, Kamis (20/8/2015).
Andhika menyebut, investasi pembangunan SPBG sebesar Rp 20 miliar melayang begitu saja setelah SPBG miliknya gulung tikar 7 tahun lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Andhika menuturkan, seharusnya pemerintah serius dalam program konversi BBM ke gas untuk kendaraan bermotor. Padahal, kata Andhika, sejumlah pengusaha sudah menyatakan minatnya membangun SPBG untuk mendukung program tersebut.
Direktur BBM Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas Hendry Ahmad mengungkapkan tak konsistennya program konversi gas membuat pengusaha yang sudah terlanjut berinvstasi membangun SPBG harus menangung kerugian.
"Semua memang harus komitmen dilaksanakan. Contohnya dulu ada program taksi dan angkot sudah digagas pakai BBG. Sekarang hilang semua nggak ada kabar," jelas Hendry.
Kegagalan konversi gas di masa lalu, sambung Hendry, membuat kepercayaan investor SPBG otomatis hilang.
"Otomatis karena nggak konsisten SPBG yang sudah terlanjur dibangun akhirnya bangkrut. Yang korban yah pengusaha sudah investasi tapi bangkrut karena nggak ada yang beli gasnya. SPBG PGN kan juga sekarang banyak yang nggak jalan. Nggak ada komitmen yang kuat," katanya.
Hendry mengungkapkan, seharusnya pemerintah berkaca pada keberhasilan India dalam program konversi gas yang dilakukan dalam satu kawasan dan cenderung dipaksakan.
"Contoh India, program BBG itu dilaksanakan dalam satu kawasan, di situ semua harus pakai gas, tapi infrastrukturnya juga sudah siap. Dan itu di satu wilayah itu dipaksa. Akhirnya semua angkutan dan bajaj di sana pakai gas karena wajib pakai BBG. Memang harus ada komitmen dari pemerintah," katanya.
(hen/hen)











































