"Kami sedang melihat, karena pada dasarnya BUMN itu memiliki 9,36%, kami harapkan kalau ada kemungkinan untuk menaikkan saham nanti kita akan naikkan kepemilikan BUMN," ujar Rini ditemui di Kantor Pertamina, Jalan Medan Merdeka Timur, Jakarta Pusat, Selasa (22/9/2015).
Rini mengatakan, pihaknya sedang mencari BUMN yang neraca keuangannya kuat sehingga mampu membeli saham divestasi Freeport.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Seperti diketahui, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang kegiatan usaha penambangan minerba, Freeport yang punya tambang bawah tanah (underground) kena kewajiban divestasi 30% saham.
Sesuai PP divestasi itu, kewajiban perusahaan minerba mendivestasikan sahamnya sebanyak 51% apabila tambangnya tidak terintegrasi dengan pabrik pemurnian (smelter). Bila terintegrasi smelter, kewajiban divestasinya hanya 40%, dan apabila mengembangkan tambang bawah tanah, kewajiban divestasi saham hanya 30%.
Untuk saat ini, Freeport tengah dalam proses perubahan status kontraknya, dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan harus dengan izin Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kontrak Freeport di tambang emas Papua akan habis 2021. Freeport meminta perpanjangan kontrak hingga 2041.
Freeport berdasarkan PP divestasi tersebut dikenakan kewajiban divestasi 30% saham. Saat ini Freeport sudah melepas 9,36% sahamnya, artinya masih harus divestasi 20,64% sahamnya. Untuk sisanya, Presiden Direktur Freeport Indonesia, Maroef Sjamsuddin menyatakan 10,64% siap untuk dilepas secara bertahap mulai Oktober 2015. Sisanya 10% lagi akan dilepas pada 2016.
Bila BUMN tidak ada yang mampu/mau membeli saham Freeport, maka akan ditawarkan ke Pemerintah Daerah/BUMD. Bila tak ada juga yang membeli, maka Freeport akan menjualnya melalui mekanisme Initial Public Offering (IPO).
(rrd/hen)











































