Dampaknya, dalam beberapa tahun ke depan negara bisa saja kehilangan penerimaan cukup signifikan. Seperti diketahui siap menggelontorkan dana investasi US$ 15 miliar untuk pengembangan tambang bawah tanah (underground) dan US$ 2,3 miliar untuk menambah kapasitas pabrik smelternya di Gresik, Jawa Timur.
Kepala Staf Kepresidenan, Teten Masduki menjelaskan, persoalan tersebut akan menjadi konsentrasi pemerintah untuk dicarikan solusinya. Karena selama ini, Freeport menyumbang penerimaan cukup besar, baik dari penerimaan royalti, pajak, dan bea keluar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Diketahui Freeport ingin mengembangkan tambang bawah tanah setelah tambang open pit (terbuka) di Grasberg akan habis cadangan emas, tembaga, dan peraknya pada 2016. Namun, untuk mengembangkan tambang bawah tanah ini membutuhkan dana yang tidak sedikit atau mencapai US$ 15 miliar
"Freeport berakhir 2021, tapi baru bisa dibahas tahun 2019.β Ini produksi akan turun kalau tidak ada investasi baru, gangguan akan ke pendapatan. Nah saya tanya ke semua pebisnis tambang, ada nggak orang mau investasi supaya produksi terus nanjak, lalu mereka nggak yakin akan diperpanjang, mereka nggak mau kehilangan duit dong," papar Teten.
Menurut Teten, kondisi ini cukup dilematis bagi pemerintah. Sampai sekarang pemerintah masih memegang aturan tersebut dan belum ada kepastian untuk perpanjangan. Meskipun negosiasi untuk tuntutan kewajiban Freeport terus dilakukan pemerintah.
"Ada nggak yang mau bisnis US$ 10 miliar, tambang dalam 2 tahun, tambang akan turun, eksplorasi misalnya. Ada nggak yang mau kalau ternyata tidak pasti ada perpanjangan. Presiden ingin lima hal, royalti, divestasi usaha, kandungan lokal, pembangunan industri, pembanguan papua. Lima hal itu yang penting dibicarakan dengan Freeport dan itu masih dilakukan," pungkasnya.
(mkl/rrd)