Banyak Gas RI yang Dibakar dan Dibuang, Ini Dampaknya

Banyak Gas RI yang Dibakar dan Dibuang, Ini Dampaknya

Rista Rama Dhany - detikFinance
Senin, 02 Nov 2015 17:48 WIB
Banyak Gas RI yang Dibakar dan Dibuang, Ini Dampaknya
Jakarta - Sebanyak 60% kebutuhan elpiji dalam negeri berasal dari impor. Di sisi lain, banyak gas dalam negeri yang bisa dimanfaatkan untuk menambah produksi elpiji nasional. Tapi sayang, gas yang bisa menjadi elpiji ini dibakar alias dibuang, atau flare gas.

Berdasarkan data Ditjen Migas, Kementerian ESDM yang dikutip detikFinance, Senin (2/11/2015), pada 2009 tidak kurang sekitar 357,9 MMSCFD (juta kaki kubik per hari) gas bumi tidak dimanfaatkan dan hanya jadi flare gas atau dibakar terbuang.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja mengatakan, flare gas ini merupakan energi yang dibuang dan dibakar dengan sia-sia, untuk tujuan produksi dan keselamatan dari fasilitas migas itu sendiri.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Sayangnya, dari flare gas ini menimbulkan dampak polusi udara berupa COx (carbondioksida), SOx (Sulfur Dioxide), NOx (Nitrous Oxide), peningkatan suhu udara, kebisingan, dan hujan asam," ungkap Wiratmaja, ditemui di Discovery Kartika Plaza Hotel, Senin (2/11/2015).

Tentunya, dalam jangka panjang dampak polusi udara ini mengakibatkan efek gas rumah kaca dan meningkatkan pemanasan global.

Melihat dampak negatif tersebut, sementara bila dimanfaatkan flare gas ini bisa menambah produksi bahan bakar gas, elpiji, dan kodensat (bisa jadi pertamax), maka pemerintah melalui kementerian ESDM merevisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2010, tentang Alokasi Pemanfaatan Gas Bumi untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri.

"Salah satu revisi Permen ESDM ini, ada pengaturan khusus mengenai pemanfaatan flare gas, CBM, dan gas pengotor. Revisinya sudah keluar," ungkapnya.

Dia menambahkan, untuk memanfaatkan flare gas oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dapat melalui mekanisme, dengan penambahan fasilitas gas di hulu atau dimanfaatkan oleh badan usaha lain.

"Nantinya kontraktor wajib mengusulkan rencana optimalisasi pemanfaatkan flare gas ke SKK Migas, setelah itu, Dirjen Migas atas nama Menteri menetapkan alokasi dan harga flare gas berdasarkan usulan kontraktor setelah dievaluasi SKK Migas," tutupnya.

(rrd/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads