Perang minyak yang terjadi adalah, memperebutkan ceruk pangsa pasar minyak dunia. Saudi saat ini merupakan eksportir minyak terbesar dunia. Sementara Iran, sedang bersiap untuk kembali masuk ke pasar minyak dunia setelah sanksi ekonominya dilepas.
Pihak Saudi mengumumkan bakal memutus hubungan dagang dengan Iran. Setelah sebelumnya, Saudi memutuskan hubungan diplomatik dengan Iran.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Saudi dan Iran memiliki dua kutub politik agama yang berlawanan, dan kedua negara ini memiliki cadangan minyak yang besar.
Merespons ketegangan hubungan dua negara ini, harga minyak jenis Brent naik lebih dari 4% pada Senin pagi kemarin. Namun, masih banyak pengamat yang memprediksi, pasokan minyak dunia pada tahun ini akan tetap melimpah. Apalagi ada tambahan dari Iran yang sudah lepas dari sanksi ekonomi, dan akan membawa tambahan pasokan minyak dunia.
Iran sendiri, saat ini sudah berencana menggenjot produksi minyaknya. Tujuannya, untuk menambah angka ekspor minyak hingga 1 juta barel per hari dalam 6 bulan ke depan. Meski menteri perminyakan Iran membantah langkah itu mengganggu pasar.
Banyak pihak yang meramal harga minyak bakal turun ke single digit, karena melimpahnya pasokan dari Iran dan Arab Saudi.
"Saya pikir, tujuan utama mereka (Iran) adalah perekonomian negaranya. Dan langkah mereka untuk menjual banyak minyak tidak bertujuan untuk menyiksa Saudi dengan harga minyak rendah. Langkah ini dilakukan untuk meningkatkan penerimaan," papar Hanis Sabra, Kepala dari Eurasia Group di Timur Tengah dan Afrika Utara, seperti dilansir dari CNBC, Selasa (5/1/2016).
Analis dari Again Capital, John Kilduff mengutarakan hal berbeda, Iran juga bisa meningkatkan penghasilan dengan menjual sedikit minyak di harga tinggi.
Meski begitu, Iran dianggap bakal sukses 'menyiksa' Saudi dengan membanjiri minyak di pasar dunia. Apalagi, pemerintahan Saudi di Riyadh sudah memberi sinyal, situasi harga minyak yang rendah saat ini memaksa mereka melakukan sejumlah langkah penghematan. Subsidi energi dipangkas, dan pengeluaran pemerintah juga ditekan untuk mengurangi defisit anggaran yang terjadi di tahun ini.
Seperti diketahui, harga minyak saat ini sudah jatuh di bawah US$ 40 per barel, dari posisi tertingginya di atas US$ 100 per barel pada pertengahan 2014 lalu. Situasi ini terjadi karena pasokan minyak yang berlimpah, sementara permintaan turun akibat situasi ekonomi dunia yang lesu.
Kondisi sekarang tinggal kuat-kuatan saja, siapa yang akan bertahan dengan harga minyak yang rendah seperti ini.
Ada analisa lain yang datang dari Richard Hastings, seorang Pengamat Makro Ekonomi dari Seaport Global Securities. Menurutnya, justru saat ini Saudi yang menekan harga minyak agar rendah. Tujuannya, mencegah Iran masuk ke pasar minyak. Tapi, Saudi juga tidak akan menurunkan harga minyak sampai ke tingkat yang tajam di bawah, karena akan merugikan dirinya sendiri juga.
Dari berbagai analisa ini, dapat dilihat bahwa minyak masih belum sempurna untuk dijadikan senjata konflik antara Iran dan Saudi. Meski keduanya memang menjadi kompetitor terkuat di bisnis perminyakan dunia, bila dilihat dari cadangan dan produksi minyaknya.
"Apakah Iran dan Saudi merupakan kompetitor? Jawabannya iya. Apakah kompetisinya kuat? Jelas. Apakah komptisi keduanya akan makin panas? Ya. Namun ide yang mengatakan minyak adalah alat utama dalam persaingan kedua negara ini, itu salah," tutur Sabra.
(wdl/ang)











































