Syamsir Abduh, anggota Dewan Energi Nasional (DEN) tidak sepakat jika PLTN jadi alternatif yang realistis saat ini guna mencukupi defisit listrik. Menurutnya, ada beberapa syarat sebelum PLTN bisa benar-benar dibangun di Indonesia.
"Ada beberapa syarat nuklir bisa dibangun. Pertama sudah ada kajian mendalam tekhnologi, kedua kemananan, kebutuhan energi yang meningkat, aspek lingkungan berupa pengurangan emisi, ada kepentingan nasional yang mendesak. Nah setelah itu terpenuhi baru bisa dipakai nuklir," ujar Syamsir dalam diskusi Energi Kita, di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (10/1/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal yang sama diungkapkan Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa. Menurutnya, dengan kondisi sekarang, PLTN adalah pilihan terakhir pemenuhan defisit energi listrik karena berbagai alasan.
"Tidak benar PLTN itu hasilkan listrik murah. Itu tidak menghilangkan PLTN sebagai tekhnologi yang beresiko, mahal, dan berbahaya, itu sudah nature (alamiah) dari nuklir," terang Fabby pada kesempatan yang sama.
Mahalnya listrik dari energi nuklir, disebabkan antara lain karena Indonesia belum memiliki tekhnologi nuklir, sehingga harus membeli dari negara yang sudah menguasai tekhnologi nuklir, bahan baku berupa uranium pun masih harus diimpor.
"Investasi awalnya PLTN 4 kali lebih mahal dari PLTU, per kWh rata-rata 12 sen. Artinya, kalau dibangun malah ada tambahan subsidi. Kemudian Babel dan Kalimantan yang selama ini dianggap paling cocok dibangun PLTN juga pernah gempa," jelas Fabby.
"Belum lagi bangun PLTN itu paling cepat itu 8 tahun, generasi PLTN terbaru 10 tahun. Nah selain itu negara kita kepulauan juga belum cocok dengan PLTN. Rata-rata PLTN tekhnologi mengharuskan dibangun di atas 1.000 MW, sementara di Kalimatan Timur saja listrik puncak 600 MW," tutupnya.
(mkl/mkl)











































