PLTU ini merupakan bentuk kerja sama antara Indonesia, Jepang, dan Korea yang terdiri dari Indika Energy, Marubeni (Jepang), Komipo (Korea), dan Samtan (Korea).
"PLTU ini kita konsorsium jadi yang 25% dikelola Indika Energy, 75%-nya dikelola Marubeni, Komipo, dan Samtan, saat ini kita menyalurkan 660 MW ke PLN, semua listrik yang dihasilkan disini itu dikirim ke transmission line namanya grid yang bentuknya itu tiang dan kabel-kabel dipinggir jalan, distribusinya ke mana itu tugasnya PLN kita nggak tahu," ujar Presiden Direktur PT Cirebon Power Services, Heru Dewanto, di kantornya, di Cirebon, Jawa Barat, Rabu (24/2/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
PLTU ini memanfaatkan air laut yang untuk dijadikan uap sebagai tenaga untuk menghasilkan listrik. Air laut ini melalui proses water treatment yaitu purifikasi untuk mengurangi tingkat korosinya.
Setelah itu masuk ke boiler untuk dipanaskan sampai menghasilkan uap dengan menggunakan bahan bakar batu bara. Kemudian uap tersebut disalurkan ke turbin sehingga menghasilkan tenaga, tenaga ini yang digunakan untuk memutar generator yang menghasilkan listrik.
"Jadi air laut yang jumlahnya sekitar 100-120 meter kubik, itu kita proses di water treatment lewat proses purifikasi, terus masuk ke boiler dipanasin yang menghasilkan uap, nah uapnya disalurkan ke turbin menghasilkan tenaga, tenaga ini yang digunakan untuk memutar generator yang menghasilkan listrik, nah listrik yang dihasilkan ini yang disalurkan ke PLN," ujar Performance Section Chief PT Cirebon Power Services, M Farid Hentihu.
![]() |
detikFinance dan rombongan sejumlah media berkesempatan mengunjungi PLTU ini untuk melihat boiler dan juga turbin. Sebelum naik ke site, rombongan diharuskan memakai safety shoes, safety helmet, dan juga kacamata transparan yang sudah disediakan untuk visitor.
Untuk melihat boiler rombongan dibatasi hanya 10 orang karena kapasitasnya tidak mencukupi untuk menaiki lift melihat boiler yang ada di ketinggian 80 m. Saat menuju boiler terjadi hujan dan angin kencang, sehingga keadaan di atas sangat berangin sehingga lift yang digunakan untuk naik juga sedikit bergoyang.
"Ini cuacanya lagi nggak bagus ya, jadi nanti di liftnya agak goyang, jadi kalau yang takut ketinggian disarankan jangan ikut, lantainya juga dari besi-besi tapi kelihatan ke bawah transparan tapi ada beberapa juga yang sudah ada karpetnya," kata Farid.
Setelah itu, rombongan diajak melihat ke control room. Di control room ini terdapat banyak layar komputer yang digunakan untuk memonitor suhu, tekanan juga jumlah listrik yang dialirkan. Terdapat juga layar yang menampilkan keadaan di dalam PLTU tersebut.
"Kenapa ini harus dikontrol, ini untuk meminimalisir error, supaya pabriknya tidak mati (listriknya)," ujar Farid.
PLTU ini sudah menggunakan teknologi baru yaitu 'Ultra Super Critical' dengan tekanan 255 bar dan temperatur 569 Celcius dapat menghasilkan sedikit emisi. Penerapan teknologi ini merupakan teknologi pertama yang digunakan di Indonesia untuk PLTU.
"Pembangkit Listrik ini menggunakan teknologi ultra super critical yang pertama di Indonesia dioperasikan sejak tahun 2012, kalau yang sebelumnya kan subcritical teknologi lama udah nggak keren kan teknologi sekarang terus berkembang, nah teknologi baru ini menghasilkan emisi yang sangat rendah, kalau batas yang disyaratkan pemerintah kan nggak boleh lebih dari 680 mg/m3 (meter kubik) nah kita dengan adanya teknologi ini cuma 215-an mg/m3," kata Heru.
Heru menambahkan, untuk program 35.000 MW yang dicanangkan pemerintahan Jokowi, saat ini pihaknya sudah mempersiapkan untuk ekspansi membuat PLTU baru, yang dapat menyalurkan 1.000 MW tenaga listrik ke PLN.
Pembagian kelola proyek 1.000 MW ini porsinya masih sama yaitu 25% dikelola oleh Indika Energy, dan 75% dikelola oleh MArubeni, Cubu Electric, Komipo, dan Samtan.
"Jadi kita ada konsorsium juga kita sama-sama jadi 100%, 25% Indika, Marubeni 35%, Cubu Electric 10%, Komipo 10%, dan Samtan 20%. Proyek 1.000 MW ini memang dorongan dari program 35.000 MW, jadi ini salah satu dari program nasional jadi kalau kita bicara pembangkit listrik itu nggak bisa muncul begitu saja, itu harus di perencanaan nasional dulu," kata Heru.
Pembangunan proyek 1.000 MW ini direncanakan akan selesai dalam waktu 4,5 tahun dan akan dimulai pada tahun ini dengan nilai investasi US$ 2 miliar.
Anjloknya harga batu bara saat ini juga dikatakan Heru tidak mempengaruhi proyek PLTU miliknya, karena ia mendapatkan pasokan batu bara dari PLN.
"Tidak pengaruh dan tidak untung juga kalau pembangkit seperti ini batu bara dibeli langsung oleh PLN," ujar Heru. (ang/wdl)













































