Bila ekspor barang tambang mentah sampai dibuka lagi, tentu tidak adil bagi perusahaan-perusahaan pertambangan yang sudah susah payah menggelontorkan banyak uang untuk membangun smelter.
"Yang dikhawatirkan adalah kalau revisi itu membahas relaksasi. Bagaimana pun juga sekarang ada sekitar 27 smelter yang sedang membangun, separuh lebih sudah beroperasi. Kasihan mereka yang sudah investasi begitu besar," kata Dirjen Industri Logam, Mesin, dan Alat Transportasi Kemenperin, I Gusti Putu Suryawirawan, saat ditemui di Warung Komando, Jakarta, Jumat (26/2/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang memiliki izin pertambangan tentu berpikir, masih bisa ekspor, nggak harus jual ke yang bikin smelter, itu yang bahaya. Bisa-bisa yang sudah bangun smelter tidak mendapat kepastian bahan baku," ujarnya.
Sebelumnya, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM, Sujatmiko, menjelaskan bahwa pihaknya ingin membuka kembali ekspor mineral mentah dengan pertimbangan situasi pasar komoditas pertambangan saat ini.
Jatuhnya harga semua komoditas pertambangan di pasar global membuat perusahaan-perusahaan tambang kesulitan keuangan sehingga tak memiliki cukup modal untuk menjalankan kewajiban pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian mineral (smelter) yang diamanatkan oleh UU Minerba.
Hilirisasi mineral tak bisa dipaksakan dalam kondisi saat ini. Selain itu, kata Sujatmiko, industri pertambangan di dalam negeri harus diselamatkan. Bila industri pertambangan sampai berhenti beroperasi akibat pelarangan ekspor mineral mentah, angka pengangguran akan meningkat. Pemerintah pun butuh pemasukan dari sektor tambang. Maka pelarangan ekspor mineral mentah harus diperlonggar.
"Kita melihat kondisi pasar sekarang. Intinya semangat UU Minerba kan hilirisasi dan nilai tambah di dalam negeri. Ternyata konstelasi pasar mineral di luar negeri ada pergeseran, kita sebagai pemilik sumber daya mineral harus pintar menyiasati pasar global," kata Sujatmiko. (hns/hns)











































