Menurut perhitungan kementerian yang dipimpin Rizal Ramli ini, biaya pembangunan Onshore LNG (OLNG) berkapasitas 7,5 juta ton/tahun hanya US$ 16 miliar, bukan US$ 19 miliar. Sedangkan Floating LNG (FLNG) yang dibangun di laut dengan kapasitas sama bakal memakan biaya US$ 22 miliar, bukan US$ 14,8 miliar.
Tenaga Ahli Bidang Kebijakan Energi Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Abdulrachim, mengklaim bahwa perhitungan yang dibuatnya sekitar 4 bulan lalu sudah akurat. Bahkan bila ditambah inflasi sekitar 10-20% dalam beberapa tahun ke depan, angka tersebut masih akurat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Angka US$ 16 miliar untuk OLNG dihitung dari fasilitas untuk penyedotan gas, pembangunan pipa untuk menyalurkan gas ke darat, dan biaya untuk memproses gas di darat.
"Ada penyedotan gas, disalurkan pakai pipa ke darat, proses di darat," ujarnya.
"Juga berdasarkan biaya pembangunan OLNG di Arin, Bontang, Tangguh, dan Donggi-Senoro, diperkirakan biaya kilang LNG onshore untuk Masela hanya sekitar US$ 16 miliar," Abdulrachim menambahkan.
Sedangkan angka US$ 22 miliar untuk FLNG mengacu pada biaya FLNG Prelude di Australia yang berkapasitas 3,6 juta ton/tahun. FLNG Prelude menghabiskan biaya sekitar US$ 13 miliar.
"Yang biaya kilang di laut itu ada referensi dari Prelude. FLNG Prelude itu biayanya US$ 3,5 juta per (kapasitas) 1 juta ton," dia menerangkan.
Menurut dia, angka US$ 14,8 miliar untuk FLNG yang diajukan Inpex tidak masuk akal.
"Publik bisa mengecek sendiri, masuk akal nggak hitungan Inpex yang dipresentasikan ke Pak Jokowi itu?" tanyanya.
Abdulrachim, menyatakan Kemenko Maritim dan Sumber Daya siap memberikan penjelasan secara detail kepada pihak-pihak yang menginginkan pembangunan kilang LNG di lepas pantai.
"Kita siap (berdebat), bahkan sekarang ini Pak Haposan (Haposan Napitupulu, Tenaga Ahli Bidang Energi Kemenko Kemaritiman dan Sumber Daya) ada di DPR untuk memberi pemaparan. Kita siap, debat di depan media dan segala macam juga kita siap," kata Abdulrachim. (feb/feb)











































