Curhat Pengusaha Smelter: Kami Pusing dan Galau

Curhat Pengusaha Smelter: Kami Pusing dan Galau

Cindy Audilla - detikFinance
Rabu, 16 Mar 2016 11:42 WIB
Curhat Pengusaha Smelter: Kami Pusing dan Galau
Foto: Dikhy Sasra
Jakarta - Pemerintah pernah mengeluarkan aturan yang melarang bahan mineral mentah dijual ke luar negeri. Bahan mineral ini harus dimurnikan terlebih dahulu sebelum dieskpor supaya memberi nilai tambah.

Industri tambang sempat ketar-ketir soal aturan ini. Sebab, para pengusaha harus mengeluarkan modal tambahan untuk membangun pusat pemurnian alias smelter.

Nah, setelah pergantian kepemimpinan di Republik Indonesia (RI), kebijakan baru pun muncul. Kali ini, Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) berniat merelaksasi kebijakan lama itu.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Artinya, perusahaan tambang bakal diizinkan kembali mengirim produk mentahnya ke luar negeri. Akibatnya, para pengusaha yang membangun smelter jadi pusing tujuh keliling.

"Sebagai pelaku usaha smelter di Indonesia. Kami ini akan menjadi orang yang paling pusing terkait nasib smelter," kata Wakil Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I), Jonatan Handoyo, dalam diskusi Indonesia Mining Outlook 2016 dengan tema "Menangkap Peluang Bisnis Mineral dan Batu Bara 2015" di The Dharmawangsa Hotel, Jakarta Rabu (16/3/2016).

"Dari 24 smelter yang sudah dibangun sejak 2012-2015 itu sudah memakan investasi sebesar US$ 12 miliar. Sebagian besar adalah investor asing. Sudah ada 15.000 tenaga kerja, belum termasuk kontraktor," katanya.

Kebingungan pengusaha smelter itu bukan tanpa alasan. Sebab ada investasi US$ 12 miliar yang dipertaruhkan.

"Kami sedang galau maka kami mencari pegangan berupa Amanah UU dan Peraturan tentang Hilirisasi Mineral yaitu UUD 1945 pasal 33 ayat 3, UU No 4/2009, UU No 3/2015, PP 23/2010, Permen WSDM 01/2014, dan Permen ESDM 8/2015. Tidak jelas sebetulnya dari mana asal mulanya sehingga dilakukan rapat dengar dengan DPR dan ESDM 8 Maret yang lalu dibahas relaksasi mineral," ujarnya.

Ia mengatakan, terkait wacana relaksasi ekspor mineral mentah yang marak dibicarakan beberapa waktu ini, AP3I sedang bersikap dan mengusulkan beberapa pengajuan.

"Perlu diketahui dari seluruh perusahaan smelter kami tidak ada yang menerima tax holiday padahal kami adalah industri baja. Jadi ini bukti nyata yang membuat kami perlu bicara ke pemerintah," ujarnya.

Kemudian terkait perlunya implementasi dari pemerinfah dalam menjamin ketersediaan bahan baku industri baik dari segi kualitas, kuantitas, nilai ekonomi, sehingga hilirisasi industri logam dasar dapat berjalan di dalam negeri.

"Kesulitan suplai seperti yang dialami perusahaan baja kami di Kalimantan jadi tidak bisa berproduksi karena kekurangan bahan baku," ujarnya.

"Kami hanya minta tolong, pertama melalui UU, dan kedua kepada pemangku pemerintah di Indonesia. Mari kita lihat apa yang telah dijanjikan dan diperintahkan oleh Presiden Jokowi. Seperti yang kita tahu Jokowi menyetop mengekspor bahan mentah khusus untuk nikel," katanya. (ang/dnl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads