Sudirman berpendapat, hal itu adalah rencana yang bagus, tetapi tidak mungkin bisa dijalankan dalam waktu dekat karena memerlukan berbagai persiapan.
"Itu wacana yang baik, tapi perlu waktu. Tidak mungkin diterapkan dalam waktu dekat," kata Sudirman saat diwawancara detikFinance di Morotai, Selasa (5/4/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sebagai satu road map ke depan, mula-mula BBM itu kan disubsidi, sekarang subsidinya kita netralkan. Satu ketika waktu ekonomi makin baik, dianggap masyarakat sudah cukup siap, akan baik juga dikenakan pajak," ucapnya.
Cukai BBM, sambungnya, adalah kebijakan yang sudah dilakukan di berbagai negara. Tujuannya untuk mengurangi konsumsi energi fosil yang berpolusi, merusak lingkungan, terbatas cadangannya, sekaligus mendorong pengembangan energi baru terbarukan (EBT).
"Dimana-mana kan begitu, road map nya mula-mula disubsidi, subsidi dihapus, kemudian dikenai pajak. Tahun berapa kita belum tahu. Tapi itu suatu wacana yang baik untuk mulai dicerna masyarakat," pungkasnya.
Sebagai informasi, pemerintah membidik tambahan penerimaan dari pengenaan cukai untuk BBM. Saat ini, rencana pengenaan cukai tersebut sedang dikaji Badan Kebijakan Fiskal (BKF) dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan.
Menurut Goro Ekanto, Kepala Pusat Kebijakan Pendapatan Negara BKF Kementerian Keuangan, selain untuk menambah penerimaan cukai, pengenaan cukai untuk kedua produk itu untuk menekan perilaku masyarakat dalam konsumsi BBM.
Pengenaan cukai untuk BBM diarahkan untuk konsumsi yang produktif. Misalnya, konsumsi BBM lebih banyak untuk angkutan umum yang bisa mengangkut orang dalam jumlah banyak, bukan sebaliknya untuk kendaraan pribadi yang kapasitas angkutnya terbatas. (drk/drk)











































