Rizal Ramli: Gas Bisa Jadi Bahan Baku Baju Hingga Mobil, Jangan Diekspor Mentah

Rizal Ramli: Gas Bisa Jadi Bahan Baku Baju Hingga Mobil, Jangan Diekspor Mentah

Michael Agustinus - detikFinance
Rabu, 11 Mei 2016 17:50 WIB
Rizal Ramli: Gas Bisa Jadi Bahan Baku Baju Hingga Mobil, Jangan Diekspor Mentah
Foto: Lamhot Aritonang
Jakarta - Gas bumi sebenarnya bisa diolah menjadi berbagai macam barang, mulai dari baju, jaket, sepatu, hingga bahan baku mobil. Tapi sayangnya, industri petrokimia untuk pengolahan gas di Indonesia tak berkembang. Indonesia lebih banyak mengekspor gas bumi ketimbang mengolahnya di dalam negeri.

Menko Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, mengaku miris karena Indonesia yang kaya akan gas bumi tak bisa mengelola kekayaan tersebut dengan baik. Gas hanya disedot saja dari tanah lalu diekspor mentah-mentah, tak ada nilai tambah. Padahal, gas bisa dijadikan berbagai macam barang yang nilainya tinggi.

"Produk petrokimia itu bisa baju, jaket, sepatu, mobil, itu 40% bahannya dari produk petrokimia. Kemudian pupuk juga. Packaging, plastik, fiber, itu juga. Rumah juga 20% produknya dari gas. Jangan tahunya gas disedot lalu diekspor," ujar Rizal, usai rapat di kantornya, Jakarta, Rabu (11/5/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dia menuturkan, Thailand memperoleh pendapatan yang besar sekali dari industri petrokimia. Padahal, Thailand bukan negara kaya gas bumi, sebagian besar kebutuhan gasnya berasal dari impor. "Kalau ada petrokimia itu besar sekali (pendapatan yang bisa diperoleh). Thailand jadi maju, jadi makmur, itu sepertiga GDP-nya (Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto) dari petrokimia," kata Rizal.

Indonesia harusnya bisa memanfaatkan kekayaan gasnya dengan lebih baik. Pola pengelolaan sumber daya alam Indonesia, termasuk gas, harus diubah total. Dari yang tadinya hanya menyedot kekayaan alam dan menjualnya ke luar negeri tanpa diolah, Indonesia harus menjadi negara yang mengembangkan industri pengolahan berbasis sumber daya alam.

Dengan begitu, kekayaan alam Indonesia menjadi lebih bermanfaat karena pendapatan yang diperoleh menjadi lebih besar, juga tercipta banyak lapangan kerja untuk rakyat.

Rizal mengatakan, tonggak perubahan paradigma pengelolaan sumber daya alam ini adalah keputusan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahwa kilang LNG Masela harus dibangun di darat.

Kilang LNG diputuskan harus dibangun di darat karena Jokowi tak mau gas dari Masela hanya disedot saja lalu diekspor mentah-mentah. Jika dibangun di darat, gas bisa dipakai untuk industri petrokimia, pupuk, dan sebagainya, multiplier effect yang diperoleh jauh lebih besar.

Menurut hitungannya, ekspor gas mentah dari Masela hanya menghasilkan US$ 2,5 miliar per tahun untuk negara. Tapi kalau gas Masela diolah menjadi produk petrokimia, pupuk, dan sebagainya, negara bisa mendapat US$ 6,5 miliar per tahun. Belum lagi lapangan pekerjaan yang tercipta untuk rakyat Maluku.

"Kalau pakai paradigma lama sedot-ekspor, dapatnya hanya US$ 2,5 miliar setiap tahun. Tapi kalau kita bangun industri pupuk, industri petrokimia maka dapet US$ 6,5 miliar (per tahun) yang langsung. Ditambah lagi rakyat buka hotel, jadi supir taksi, itu bisa dapat US$ 8 miliar (per tahun)," paparnya

Itulah alasan dirinya ngotot kilang LNG Masela harus dibangun di darat, bukan sekedar berdebat lebih baik kilang dibangun di darat atau di laut. Tujuannya ialah memaksimalkan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

"Inilah arah ke mana kita ingin pergi. Kalau jalan cepat, sedot-ekspor. Jalan agak ribet sedikit, kita bangun integrated industry. Kita ingin maju ke depan, bangsa kita harus lebih hebat lagi lewat pembangunan infrastruktur dan transformasi pengelolaan sumber daya alam," tutupnya. (wdl/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads