Hal ini dianggap memalukan oleh Menko Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli. Rizal mengatakan, gas yang harusnya bisa digunakan untuk industri dan menjadi bernilai tambah tinggi malah diekspor mentah-mentah ke luar negeri, lalu Indonesia mengimpor barang jadi yang bahan bakunya adalah gas dari Indonesia sendiri.
Kementerian ESDM sepakat bahwa gas harus dimaksimalkan manfaatnya demi kesejahteraan rakyat. Maka perlu pembangunan infrastruktur gas yang masif. ESDM menyebut, Iran sebagai salah satu negara yang patut dicontoh Indonesia dalam hal pemanfaatan gas.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iran itu mereka infrastruktur gasnya sudah bagus sekali, sudah masif sehingga gas mereka bisa lebih dimanfaatkan di dalam negeri," kata Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, kepada detikFinance di Jakarta, Jumat (13/5/2016).
Berkat keandalan infrastrukturnya ini pula, Iran tak terlalu bergantung pada minyak bumi. Dalam bauran energi nasionalnya (mix energy), porsi minyak bumi hanya 38%, sedangkan gas yang harganya murah dan ramah lingkungan mencapai 59%. Padahal, Iran adalah negara yang cadangan minyaknya termasuk paling besar di dunia.
Bagaimana dengan Indonesia?
Sejauh ini, total pipa gas yang sudah dibangun baru 9.876 km, terdiri dari 5.150 km pipa transmisi dan 4.726 km pipa distribusi, sangat jauh ketinggalan bila dibandingkan Iran.
Indonesia pun masih bergantung pada minyak meski cadangan minyak sudah tinggal sedikit dan kini sudah jadi net importir. Dalam bauran energi Indonesia, minyak mendominasi dengan 43%, gas baru 18,6%.
Wiratmaja mengatakan, setidaknya perlu penambahan pipa hingga 16.000 km agar gas tak jor-joran diekspor lagi, kuncinya ada di infrastruktur.
"Di road map kita butuh sekitar 16.000 km. Maka kita harus genjot terus pembangunannya. Kuncinya adalah di infrastruktur gas," tandasnya. (drk/drk)











































