Rizal sedih, gas yang harusnya bisa digunakan untuk industri dan menjadi bernilai tambah tinggi malah diekspor mentah-mentah ke luar negeri, lalu Indonesia mengimpor barang jadi yang bahan bakunya adalah gas dari Indonesia sendiri.
Senada dengan Rizal, Dewan Energi Nasional (DEN) juga tak setuju jika Indonesia terus-terusan hanya menjadi eksportir gas, bukan hasil industrinya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tumiran menyatakan, ekspor gas yang dilakukan Indonesia ibarat memberi subsidi kepada negara lain. Gas adalah sumber energi yang murah dan bisa diolah menjadi berbagai macam barang, daya saing industri di negara-negara lain, misalnya Malaysia dan Taiwan, menjadi kuat berkat gas dari Indonesia.
Agar hal ini tidak terus berlangsung, maka gas harus didorong untuk diserap industri di dalam negeri. Caranya tentu dengan membangun infrastruktur gas dan industri. Tanpa infrastruktur gas yang memadai, terutama pipa, gas tak bisa mengalir dari sumbernya ke kawasan industri.
Pembangunan infrastruktur gas harus dipermudah, jangan malah dipersulit dengan berbagai izin. "Misalnya PGN (Perusahaan Gas Negara) atau Pertamina mau bangun pipa, harus dipercepat izinnya, jangan lama-lama," tukas dia.
Kemudian perlu pembagian tugas dan wilayah kerja yang jelas untuk perusahaan-perusahaan yang ditugaskan membangun infrastruktur gas. "Ada Pertamina dan PGN, dibagi-bagi saja zona wilayahnya," ucap Tumiran.
Koordinasi dalam pembangunan infrastruktur gas dan industri juga harus diperkuat. Jangan sampai industri sudah tumbuh lalu kekurangan gas, atau infrastruktur dibangun tapi tidak ada industri yang menyerapnya.
"Koordinasi dan perencanaannya harus jelas. Contohnya pipa gas Dumai-Sei Mangkei-Medan, sampai sekarang nggak selesai-selesai. Kalau ada perusahaan yang tidak melaksanakan pembangunan, dipenalti saja," katanya.
Menurutnya, pemerintah sebenarnya tak perlu membuat Holding BUMN Energi. Holding yang memposisikan PGN sebagai anak usaha Pertamina justru berpotensi menghambat pembangunan infrastruktur gas, bisa-bisa Indonesia hanya menjadi eksportir gas terus saja.
Holding akan memegang banyak sekali bisnis, akibatnya tidak ada yang fokus mengurusi infrastruktur gas. "Pasti jadi nggak fokus. Ada holding jangan-jangan tambah mandek, bagi-bagi saja wilayah kerjanya Pertamina dan PGN, ngapain pakai holding?" tutupnya. (wdl/wdl)











































