Warga di Perbatasan RI-Malaysia Masak Pakai LPG Petronas

Warga di Perbatasan RI-Malaysia Masak Pakai LPG Petronas

Muhammad Idris - detikFinance
Jumat, 13 Mei 2016 15:16 WIB
Warga di Perbatasan RI-Malaysia Masak Pakai LPG Petronas
Foto: Muhammad Idris-detikFinance
Sambas - Sekian puluh tahun dianggap sebagai halaman belakang, membuat pembangunan infrastruktur di daerah perbatasan masih tertinggal. Kondisi ini membuat warga harus membeli kebutuhan pokok dari pusat ekonomi yang lebih dekat di negara tetangga, Malaysia.

Seperti yang terjadi di Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Untuk kebutuhan memasak sehari-hari, gas LPG harus dibeli dari Pasar Lundu yang terletak di Sarawak, Malaysia.

"Tak ada gas Pertamina di sini. Kalau pun ada belinya harus dari Sambas, butuh waktu 4-5 jam perjalanan, jatuhnya mahal karena berat bawanya. Kalau (gas) Petronas beli di Lundu, jarak hanya setengah jam dari sini, harganya murah RM 35 untuk ukuran 16 kg," kata Nana, pemilik warung di Desa Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, pada detikFinance, Jumat (13/5/2016).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sementara jika membeli gas Pertamina dari Sambas, untuk sampai di Aruk, harganya dipatok sebesar Rp 37.000 untuk LPG melon 3 kg.

Selain gas, sambungnya, dirinya lebih memilih membeli barang kebutuhan pokok lainnya dari Lundu di Malaysia karena lebih murah harganya dan dekat.

"Lebih murah kalau beli di Lundu seperti bawang merah, bawang bombay, kentang, beras, minyak goreng, ayam, dan lainnya. Kalau mau beli bisa pakai uang ringgit, rupiah pun bisa. Karena banyak orang sini kerja di Sarawak," jelas Nana.

Peluang Bekerja di Malaysia

Sementara itu, Timbul, warga Desa Balai Karangan, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat mengungkapkan, selain ketergantungan pada barang-barang made in Malaysia, peluang pekerjaan juga lebih banyak tersedia di Negeri Jiran tersebut.

"Kalau saya pilih tetap jadi Indonesia, darah dan lahir saya di sini. Tapi seandainya lahir kembali, jelas maunya dilahirkan sebagai orang Malaysia, iri tapi mau bagaimana lagi," katanya.

"Di Malaysia kerja lebih banyak, barang apa-apa masih murah di sana. Secara hukum juga diperlakukan lebih adil," tambahnya.

Timbul yang sehari-hari bekerja sebagai tukang ojek di Pos Lintas Batas Negara (PLBN) Entikong ini berujar, bekerja di Sarawak jadi pilihan banyak warga di Sanggau kerena lowongan lebih banyak, upah pun lebih layak.

"Kerja di Malaysia banyakan di kebun sawit, (pekerja) bangunan, jaga peternakan ayam. Mama mertua saya juga kerja di Sarawak sebagai pembantu rumah tangga," tutur Timbul.

Hal yang sama juga diungkapkan Ricky. Warga Desa Aruk, Kecamatan Sajingan Besar, Kabupaten Sambas ini mengungkapkan, minimnya pekerjaan di daerahnya membuat warga perbatasan memilih bekerja di Sarawak. Pilihan lainnya, merantau ke kota-kota besar di Jawa.

"Gaji lebih baik di Malaysia. Orang sini pilih kerja dan tinggal di Sawarak, pulangnya seminggu sekali. Kalau kerja di kebun sawit di Malaysia sehari dapat upah RM 30. Kalau kerja borongan dengan tinggal di sana rata-rata dapat upah RM 40," jelas Ricky yang pernah bekerja sebagai supir bus selama 4 tahun di Samatan, Distrik Lundu, Sarawak ini. (hns/hns)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads