Menteri ESDM: Minyak Tak Bisa Lagi Jadi Andalan Penerimaan Negara

Menteri ESDM: Minyak Tak Bisa Lagi Jadi Andalan Penerimaan Negara

Michael Agustinus - detikFinance
Kamis, 26 Mei 2016 11:51 WIB
Menteri ESDM: Minyak Tak Bisa Lagi Jadi Andalan Penerimaan Negara
Foto: Hasan Al Habshy
Jakarta - Dalam sambutannya pada acara The 40th IPA Convention and Exhibition hari ke-2, Menteri ESDM, Sudirman Said, mengungkapkan minyak bumi tak bisa lagi diandalkan untuk sumber penerimaan negara mulai sekarang dan seterusnya.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) yang disusunnya baru-baru ini, digariskan kekayaan energi tidak boleh dijadikan komoditas ekspor, tapi harus dimanfaatkan untuk menciptakan nilai tambah di dalam negeri.

"Energi tidak boleh jadi komoditi, tidak dijadikan andalan penerimaan negara. Konsekuensinya negara mendorong batu bara, minyak, gas dan sebagainya menjadi pendorong ekonomi. Kami di ESDM sangat butuh bantuan DPR untuk membuat ini menjadi dasar kebijakan ke depan," kata Sudirman, dalam acara yang digelar di JCC, Senayan, Jakarta, Kamis (26/5/2016). Dalam acara ini, hadir juga para petinggi perusahaan di sektor hulu migas

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sudirman menambahkan, kebijakan mengurangi ekspor komoditas mentah ini sejalan dengan situasi global. Anjloknya harga minyak membuat peran migas dalam pendapatan negara semakin kecil. Pada 2015 lalu, tinggal 10% penerimaan negara saja yang berasal dari migas.

"Di APBN asumsi kita harga minyak US$ 50/barel. Porsi penerimaan kita dari migas makin kecil. Sekarang baru 10% penerimaan yang dihasilkan dari migas," ujarnya.

Tren harga minyak rendah ini masih akan terus berlangsung hingga beberapa tahun ke depan. Salah satu indikasinya, negara-negara produsen minyak terbesar dunia gagal mencapai kesepakatan untuk menahan laju produksi.

"Awal 2016 ada surplus produksi minyak 1,5 juta barel per hari (bph), sementara demand menurun karena perlambatan ekonomi dunia. April 2016 ada pertemuan di Doha, 2 hari kita berkumpul menonton perdebatan beberapa negara, forum tidak berhasil menyepakati freeze production," Sudirman menuturkan.

Di Indonesia sendiri, investasi di hulu migas mengalami penurunan dari US$ 22 miliar pada 2014 menjadi US$ 18 miliar di 2015. "Kita mengalami penurunan investasi migas dari US$ 22 miliar pada 2014 jadi US$ 18 miliar di 2015," tukas dia.

Selain itu, penemuan teknologi-teknologi baru membuat biaya produksi energi terbarukan semakin murah. Penemuan shale gas dan shale oil juga tentu menekan harga menekan harga minyak dunia.

Maka tak masuk akal bila negara masih mengejar pundi-pundi dari minyak, lebih baik energi yang murah dipakai saja untuk memperkuat daya saing industri di dalam negeri.

"Biaya produksi shale gas menurun dalam 5 tahun terakhir. Akan makin murah harganya dan ini yang menyebabkan tidak ada satu pun faktor industri migas yang akan dominan seperti di masa lalu," tutupnya. (wdl/wdl)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads