Salah satu temuan yang disampaikan BPK adalah adanya kelebihan subsidi BBM sebesar Rp 3,19 triliun yang diterima PT Pertamina (Persero) pada 2015 lalu.
Kelebihan subsidi tersebut terjadi karena pemerintah menetapkan subsidi tetap sebesar Rp 1.000/liter untuk solar. Sementara selisih harga keekonomian dengan harga solar yang dijual Pertamina tak selalu Rp 1.000/liter.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait hasil audit BPK ini, Pertamina mengklaim bahwa sebenarnya kelebihan subsidi yang diterima Pertamina tak sebesar itu, bahkan bisa jadi Pertamina masih menanggung kerugian.
Sebab, meski subsidi solar berlebih, Pertamina masih menanggung selisih antara harga keekonomian dengan harga jual BBM jenis premium yang ditanggung masyarakat.
"Untuk audit BPK kami ingin klarifikasi bahwa BPK masih proses audit terutama terkait premium di mana tahun lalu kami masih menanggung selisih harga jual. Maka kemungkinan hasil totalnya ada setoran subsidi ke Pertamina justru kurang," kata VP Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro, melalui pesan singkat kepada detikFinance di Jakarta, Kamis (2/6/2016).
Untuk penyelesaian kelebihan subsidi solar sebesar Rp 3,19 triliun tersebut, Wianda belum mau berkomentar. Pihaknya masih menunggu hasil perhitungan lengkap BPK terkait selisih subsidi solar dan kerugian dari penjualan premium yang ditanggung Pertamina.
"Kita menunggu perhitungan lengkap BPK dulu," ucapnya.
Sebagai informasi, saat Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) tanggal 31 Mei 2016 lalu, Pertamina mengaku tahun lalu masih mengalami kerugian dari penjualan bahan bakar minyak (BBM) jenis premium. Kerugian total dari penjualan premium selama 2015 diklaim mencapai US$ 5,9 juta atau sekitar Rp 76,7 miliar.
Anggota VII BPK, Achsanul Qosasi meminta Pertamina dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian ESDM, segera menyelesaikan adanya kelebihan subsidi solar sebesar Rp 3,19 triliun dalam waktu 60 hari.
Saat ini, kelebihan subsidi sebesar Rp 3,19 triliun tersebut dihitung oleh Pertamina sebagai penerimaan dan masuk dalam perhitungan laba rugi.
Kelebihan subsidi ini harus dikembalikan. Opsinya adalah dikompensasi untuk subsidi BBM tahun berikutnya atau uangnya dikembalikan ke kas negara.
"Kelebihan yang dinikmati badan usaha senilai Rp 3,19 triliun ini nanti badan usaha tinggal diskusi dengan ESDM, apakah nanti dikompensasi subsidi tahun depan yang dikurangi atau badan usaha mengembalikan ke negara," tutupnya. (ang/ang)











































