Kuasai 100% BHP Billiton, Adaro Gelontorkan Rp 1,6 Triliun

Kuasai 100% BHP Billiton, Adaro Gelontorkan Rp 1,6 Triliun

Maikel Jefriando - detikFinance
Kamis, 09 Jun 2016 15:35 WIB
Foto: Ari Saputra
Jakarta - Perusahaan tambang batu bara dalam negeri, PT Adaro Energy Tbk (ADRO) telah resmi mengambil alih 100% kepemilikan di perusahaan pertambangan multinasional BHP Billiton.

Perjanjian jual beli bersayarat atau Conditional Sale and Purchase Agreement (CSPA) telah dilakukan Adaro bersama BHP Billiton pekan lalu.

Presiden Direktur Adaro Garibaldi Thohir membenarkan soal akuisisi tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Betul insya Allah sudah, jadi CSPA sudah ditandatangani minggu lalu," ujarnya saat ditemui di Istana Presiden, Jakarta, Kamis (9/6/2016).

Pria yang akrab disapa Boy ini menjelaskan, nilai transaksi pengambilalihan 75% BHP Billiton mencapai US$ 120 juta atau sekitar Rp 1,584 triliun (kurs Rp 13.200).

Menurut Boy, ini merupakan transaksi kali kedua sebesar 75% setelah sebelumnya di tahun 2010-2011 silam, pihaknya telah mengambilalih kepemilikan BHP Billiton sebesar 25% dengan nilai transaksi mencapai US$ 350 juta. Dengan demikian, saat ini kepemilikan BHP Billiton 100% dimiliki Adaro.

"Transaksi pertama di tahun 2010-2011 sekitar US$ 350 juta untuk 25%. Kemarin, karena kondisi jelek 75% kami beli dengan harga US$ 120 juta. Alhamdulillah yang awalnya 100% milik asing, terus kita masuk sebagai minoritas di 2010-2011, sekarang milik Indonesia," jelas dia.

Lebih jauh Boy menjelaskan, proses akuisisi ini merupakan proyek penting bagi perseroan. Dengan kepemilikan ini, Indonesia bisa sepenuhnya memproduksi baja sendiri tanpa harus mengimpor.

"Seperti yang saya katakan karena satu dan lain hal, pihak BHP Australia dengan kondisi seperti sekarang mereka akan fokus mengerjakan proyek-proyek di dalam negerinya, sebaliknya untuk Adaro ini merupakan opportunity untuk kita bagaimana kita bisa memberikan kontribusi lebih," katanya.

Selama ini, kata Boy, sebagian besar baja memang masih diimpor, utamanya dari Australia.

"Selama ini memang masih impor, umumnya dari Australia. Memang Australia mendominasi gitu ya. IndoMet coal bukan thermal coal, lebih ke cooking coal, ini merupakan bahan utama dari pabrik baja. Pemerintah lagi giat-giatnya me-refer industri baja di Indonesia, dengan Krakatau Steel, dan lain-lain. Adaro melihat ini momen strategis bahwa suatu saat kita bisa memenuhi kebutuhan pabrik baja dan industri kita bisa lebih efisien karena tidak tergantung dari impor," terang Boy. (drk/ang)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads