Sebelumnya dari total 70.000 MW pembangkit listrik yang akan dibangun hingga 10 tahun ke depan, 42.000 MW di antaranya adalah PLTU. Dalam RUPTL baru, porsi pembangkit baru bara dikurangi 8.000 MW menjadi 34.000 MW.
Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, mengungkapkan bahwa pengurangan porsi batu bara dalam bauran energi listrik ini karena Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) mengharuskan demikian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pertimbangannya adalah sesuai KEN, yang kemudian dijabarkan dalam RUKN 2015-2024, maka energy mix tahun 2025 adalah 50% batu bara, 25% EBT, 24% gas, dan 1% BBM," kata Jarman melalui pesan singkat kepada detikFinance di Jakarta, Kamis (16/6/2016).
Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian ESDM, Sujatmiko, menambahkan bahwa batu bara tetap dominan dalam RUPTL terbaru karena harganya paling murah dan ketersediaannya melimpah di Indonesia. Biaya produksi listrik harus murah untuk meningkatkan daya saing industri di dalam negeri.
Tetapi menurutnya, banyaknya pemakaian batu bara ini tidak akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang parah. Sebab, PLTU yang dibangun harus menggunakan clean coal technology alias teknologi batu bara bersih.
"Kita tekankan dalam RUPTL yang baru untuk menggunakan clean coal technology, jadi ramah lingkungan," katanya.
Dengan penggunaan teknologi ramah lingkungan, tingkat polusi yang ditimbulkan oleh PLTU bisa diminimalkan. Salah satu pembangkit yang sudah menggunakan teknologi ini adalah PLTU Batang 2x1.000 MW di Jawa Tengah.
"Jadi pakai batu bara tapi aman buat lingkungan," tutupnya. (feb/feb)











































