Lalu, pembangunannya menyerap banyak tenaga kerja. Maka peran swasta nasional dalam kelistrikan nasional akan semakin besar jika banyak PLTMH, pertumbuhan ekonomi di daerah juga terdorong karena terciptanya lapangan kerja.
Direktur Perencanaan PLN, Nicke Widyawati, menyatakan bahwa pihaknya sudah menjalankan arahan tersebut sejak awal. Buktinya, tahun ini PLN telah menandatangani perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dari PLTMH hingga 195 MW.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tapi Nicke menambahkan, tak semua lokasi cocok untuk PLTMH. Misalnya untuk di Jawa, PLN enggan membeli listrik mikro hidro karena jaringan di Jawa sudah sangat andal, infrastrukturnya juga sudah cukup memadai. Pemakaian PLTMH di Jawa akan menimbulkan inefisiensi, yang cocok untuk di Jawa adalah pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Tapi PLTMH cocok bila dibangun di daerah-daerah terpencil yang infrastrukturnya buruk dan jaringan listriknya tidak interkoneksi. "Di Jawa Bali itu kan sudah interkoneksi, listrik yang diambil adalah yang paling murah, yaitu PLTU. Tapi kalau di luar Jawa kan belum interkoneksi, masih sub sistem, malah off grid," ujar Nicke.
PLTU maupun pembangkit lain yang menggunakan sumber energi primer tak cocok untuk daerah terpencil. Pengiriman bahan bakar seperti solar, batu bara, atau gas ke wilayah terpencil sulit sekali dan membutuhkan biaya sangat besar. Maka lebih cocok menggunakan energi terbarukan yang tersedia di wilayah tersebut, misalnya air sungai untuk PLTMH.
"Memang PLTMH kita dorong, dan itu perlu dibangun di daerah-daerah yang sekarang masih defisit. Potensi PLTMH itu banyak dan itu potensi energi terbarukan yang sumbernya ada di lokasi tersebut sehingga cocok sekali dibangun di daerah remote, khususnya di Indonesia Timur," Nicke menjelaskan.
Contohnya di Papua, pengiriman solar untuk pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) di sana bisa menghabiskan biaya sampai Rp 30.000/liter. Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik menjadi mahal sekali, bisa sampai Rp 8.000/kWh, akan lebih efisien bila menggunakan PLTMH yang tarifnya hanya sekitar Rp 2.000/kWh.
"Sebagai contoh misalnya di Papua, BPP listrik masih di atas tarif PLTMH. Jadi di sana PLTMH bagus. Di daerah yang elektrifikasinya masih rendah, masih banyak pakai diesel, PLTMH sangat bagus," cetusnya.
Pihaknya membantah anggapan bahwa tindakan PLN menetapkan harga listrik mikro hidro sendiri, yang berbeda dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2015 (Permen ESDM 19/2015) sebagai langkah yang tidak mendukung pengembangan PLTMH.
Sebaliknya, keputusan itu dibuat PLN agar pengembangan PLTMH bisa tetap berjalan meski pemerintah belum memberikan subsidi khusus energi baru terbarukan (EBT) kepada PLN. Kalau subsidi untuk EBT sudah ada, PLN akan membeli listrik dari pengembang PLTMH dengan tarif sesuai Permen 19/2015.
Tarif yang dibuat PLN hanya berlaku sementara hingga subsidi untuk EBT sudah jelas.
"Ini kan tarif sementara, secara korporasi kita harus berhati-hati. Tapi prinsip kehati-hatian itu jangan sampai menghambat pengembangan PLTMH. Ketika subsidinya sudah jelas, kita otomatis mengikuti Permen ESDM 19/2015. Di kontrak ada pasal peralihan. Jadi ini adalah cara bagaimana supaya tidak terhambat," pungkasnya (hns/hns)











































