Saat ini konsorsium yang terdiri dari PT Pertamina (Persero), Exxon Mobil, dan PTT EP masih melakukan studi mencari cara paling tepat untuk mengembangkan Blok East Natuna.
"Yang banyak dibicarakan adalah East Natuna. Sekarang kita tugaskan Pertamina, Pertamina membentuk konsorsium," kata Dirjen Migas Kementerian ESDM, IGN Wiratmaja Puja, dalam konferensi pers di Kantornya, Jakarta, Kamis (30/6/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sampai saat ini masih dicari teknologi untuk pemisahan CO2 yang sangat tinggi itu dan menginjeksinya lagi supaya tidak mencemari udara. Belum pernah ada perusahaan yang pernah memisahkan kandungan CO2 sebesar itu.
"Tentu untuk mengembangkannya sangat besar tantangannya. Lokasinya remote, kompleksitas subsurface, dan kandungan CO2 tinggi. Butuh area khusus untuk injeksi CO2, pemrosesan khusus dibutuhkan untuk memisahkan CO2," papar Wiratmaja.
Biaya Investasi
Blok East Natuna juga tempatnya kurang strategis, jauh dari pasarnya. "Konstruksinya akan terapung, jauh dari mana-mana, lapangan gas jauh dari konsumen. Butuh pipa-pipa gas untuk mengalirkannya ke konsumen," tuturnya.
Tentu dengan kondisi seperti itu, butuh biaya investasi yang sangat besar untuk mengembangkan Blok East Natuna. Pertamina dan konsorsium yang dibentuknya masih menghitung Investment Rate Return (IRR), bagi hasil (split), jangka waktu kontrak, dan insentif agar produksi gas dari blok ini bisa mencapai skala ekonomi.
Wiratmaja menyatakan bahwa pihaknya terus berupaya mempercepat pengembangan Blok East Natuna sebagaimana diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) baru-baru ini.
"Mana yang bisa kita percepat, kita percepat. Kita intens bertemu Pertamina, konsorsium, SKK Migas. Semua dikaji dengan baik. Kita target the sooner the better. Misalnya PSC bisa diteken maka butuh kira-kira cukup waktu dibangun 7-10 tahun untuk mulai sampai onstream (produksi," pungkasnya. (hns/hns)











































