Dalam skenario tersebut, diperhitungkan tingkat pengembalian investasi (Investment Rate Return/IRR) untuk East Natuna adalah 12% per tahun, sehingga modal yang dikeluarkan investor bisa kembali dalam waktu kurang lebih 8 tahun.
Untuk mencapai IRR sebesar 12%, sejak 5 tahun lalu konsorsium yang dipimpun Pertamina telah mengusulkan sejumlah insentif, seperti pengurangan pajak, perpanjangan durasi kontrak, investment credit, dan sebagainya. Sedangkan untuk mencegah gas CO2 menyembur dan mencemari udara saat pengeboran di Natuna, Exxon Mobil telah menyiapkan teknologi dan metode khusus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) mengungkapkan, skenario itu masih dibahas pemerintah. Pemerintah enggan memenuhi beberapa permintaan investor karena dinilai terlalu memberatkan.
"Saya belum tahu. Tapi dari dulu Exxon Mobil minta negara hanya dapat dari pajak, kita (negara) hanya dapat dari pajak saja. Jadi bagian negara jatuhnya sekitar 50%. Itu yang dulu, yang baru kita belum tahu. Itu domain Kementerian ESDM, belum ke SKK Migas," kata Kepala Divisi Humas SKK Migas, Taslim Yunus, dalam Media Gathering di Hotel Sheraton, Bandung, Selasa (19/7/2016).
Dia menambahkan, skenario untuk teknis pengembangan Blok East Natuna masih sama dengan 4 tahun lalu, belum ada perubahan. Rencananya, gas dari Blok East Natuna akan dialirkan melalui pipa ke pembeli-pembelinya. Gas tidak akan diolah menjadi LNG karena biayanya akan sangat mahal.
Batas toleransi kandungan CO2 untuk LNG adalah kurang dari 1%, butuh biaya sangat besar untuk mencapai standar itu. Sedangkan gas dalam bentuk CNG yang dialirkan melalui pipa batas toleransi CO2-nya 5%, masih ekonomis untuk mencapai standar itu.
"Dari beberapa usulan yang diajukan oleh Exxon Mobil dulu, mereka akan menggunakan mekanisme gas pipa, bukan LNG karena mengubah CO2 yang lebih dari 60% menjadi 1% itu teknologinya sangat mahal. Kalau untuk mengubah jadi 5% saja bisa dengan gas pipa. Skim itu yang masih kita pakai, belum ada perubahan," tutup Taslim.
Sebelumnya, Tenaga Ahli Bidang Migas Kemenko Maritim dan Sumber Daya, Haposan Napitupulu, mengungkapkan hambatan utama dalam pengembangan Blok East Natuna sebenarnya bukan masalah keekonomian dan teknologi, tapi komitmen dari pemerintah. Selama ini pemerintah terkesan enggan membuat terobosan, terlalu birokratis dan kaku dalam menerapkan aturan. Kalau saja pemerintah mau berkorban sedikit, kedaulatan bisa ditegakan, keuntungan pun bisa diperoleh dalam jangka panjang.
"Kendala utamanya adalah keinginan pemerintah. Pemerintah punya willing nggak untuk membangun ini? Kalau ada kemauan, diberikan lah semua fasilitas yang penting ini terbangun. Harusnya kan gitu baru bisa dibangun," ucapnya.
"Kalau kata pemerintah aturannya harus begini begitu, fiskalnya nggak bisa begini nggak bisa begitu, pemerintah dapat apa? Nggak dapat apa-apa juga. Kalau kasih tax holiday 10 tahun, memang 10 tahun nggak dapat pendapatan pajak, tapi setelah 10 tahun kan dapat. Yang penting ini bisa dikembangkan," dia menambahkan.
Pihaknya meminta pertimbangan keekonomian dikesampingkan dulu, sekarang yang nomor satu adalah kedaulatan negara. Blok East Natuna harus segera digarap Indonesia supaya tak dicaplok China. Harga minyak yang sedang rendah bukan halangan, pemerintah bisa mengurangi jatahnya dan memperbesar bagian untuk investor dalam kontrak bagi hasil, yang penting Blok East Natuna bisa dikembangkan.
"Apakah mungkin split pemerintah dikurangi, atau yang lain. Kalau split pemerintah dikurangi, mereka bayar ke pemerintah jadi lebih sedikit, biaya operasinya jadi lebih murah. Penerimaan negara memang akan berkurang di hulu kalau split kecil. Tapi nggak apa-apa, selama pembangunan kan banyak orang kerja di sana, ada aktivitas, ada kegiatan. Jadi mereka (China) mikir juga kalau mau mengklaim, ada kegiatan. Seharusnya pemerintah berpikir bukan hanya segi komersialitas, tapi juga kedaulatan negara," tandasnya. (wdl/wdl)