Gugatan tersebut masuk pada 23 September 2015 lalu. Dalam waktu maksimal 2 tahun, arbitrase akan menetapkan keputusan. Pemerintah saat ini sedang menyiapkan pengacara untuk menghadapi IMFA.
"Soal IMFA, sampai saat ini pemerintah sedang mengusahakan penunjukkan jasa lawyer yang bisa mewakili pemerintah," kata Dirjen Minerba Kementerian ESDM, Bambang Gatot Aryono, dalam konferensi pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (21/7/2016).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah juga melakukan pendekatan kepada pemilik IUP yang tumpang tindih (dengan IMFA). Dari 5 perusahaan, 4 perusahaan sudah bersedia menciutkan wilayah. Yang 1 perusahaan minta ganti wilayah. Ini sedang kita coba," tutupnya.
Sebagai informasi, kasus ini berawal dari pembelian PT Sri Sumber Rahayu Indah (SSRI) oleh IMFA pada 2010. SSRI memiliki IUP untuk batu bara di Barito Timur, Kalimantan Tengah (Kalteng).
Investor asing asal India ini merasa rugi karena telah menggelontorkan uang US$ 8,7 juta untuk membeli SSRI, akibat tak bisa melakukan penambangan karena ternyata IUP di lahan seluas 3.600 hektar yang dimiliki SSRI tidak CnC. IUP mereka tumpang tindih dengan IUP milik 7 perusahaan lain.
Karena itu, IMFA menuntut ganti rugi dari pemerintah Indonesia senilai US$ 581 juta alias Rp 7,55 triliun (dengan asumsi kurs dolar Rp 13.000). Menurut perhitungan mereka, potensi pendapatan yang hilang (potential loss) akibat tidak bisa menambang batu bara ditambah investasi yang sudah mereka keluarkan mencapai Rp 7,55 triliun. (ang/ang)











































