Direktur Utama Pertamina, Dwi Soetjipto, mengatakan pihaknya sudah menyatakan komitmen untuk menggarap blok migas tersebut. Namun dengan kompleksitas pengelolaan gas karbon CO2 di East Natuna, membuat Pertamina harus mengakali tekhnologi sekaligus investasi yang terbilang lebih mahal ketimbang blok-blok lainnya.
"Jadi gas di Natuna ini kan 72% CO2 sehingga cost sangat tinggi. Maka usul kita ke pemerintah agar mengkaji lagi berapa persen share pemerintah. Posisi operator harus diperbesar, sehingga cost itu bisa ditutup dengan share take di situ," ujarnya kepada detikFinance ditemui di kantornya, Gambir, Jakarta, pekan lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
![]() |
"Jalan keluar yang sudah ditetapkan Kementerian ESDM kita mulai dengan minyaknya dulu. Dan memang utilisasi, kita akan segera bergerak ambil minyaknya dulu. Sementara gasnya mungkin akan didiskusikan lagi," ucap Dwi.
Sebagai informasi, Blok Natuna ekploitasi gas di Blok Natuna ditemukan sejak tahun 1973 dan didiamkan sampai saat ini. Volume gas di tempat atau Initial Gas in Place (IGIP) sebesar 222 triliun kaki kubik (tcf), dan cadangan terbuktinya 46 tcf.
Selain itu, Blok East Natuna memiliki kadar karbondioksida (CO2) mencapai 72 %, yang artinya bisa berdampak pada lingkungan atau pipa. Jadi, CO2 tersebut harus dipisahkan dengan diinjeksi kembali ke perut bumi. (hns/wdl)












































