"Targer itu di energi mix, EBT harus menyediakan energi mix setara 23% di 2025 itu peraturan pemerintah. Tahun ini angkanya sudah 10% dari target, paling banyak dari PLTA, Panas Bumi, dan Bio Energy," kata Dadan, di kantornya, Cikini, Jakarta Pusat, Senin (15/8/2016).
Pemanfaatan energi terbarukan hingga kini masih terus didorong untuk dikembangkan demi memenuhi kebutuhan energi. Dadan menyebut hingga kini pemerintah membutuhkan dana sekitar Rp 1.400 hingga Rp 1.500 triliun untuk membangun kebutuhan energi terbarukan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Yang pasti harus banyak duit, investasi, karena perlu uangnya juga banyak kan harus bangun. Hitungan pemerintah itu perlu sekitar Rp 1.400 atau Rp 1.500 triliun, untuk memastikan itu. yang pasti bukan uangnya pemerintah semuanya. Jadi yang dilakukan oleh kami meciptakan ilkim usaha yang kondusif, misal menciptakan harga yang baik supaya mereka bisa mendapatkan investasi yang cukup untuk investasi di tempat lain, pastikan bantu pengurusannya. Sekarang izin panas bumi datangnya ke BKPM, sekali ke tempat selesai," imbuhnya.
Untuk mewujudkan itu, menurutnya regulasi harus dilengkapi. Karena menurutnya regulasi sebenarnya sudah ada tetapi belum dipahami.
"Dari segi regulasi kita kan sudah ada. UU PP-nya ada, kalau ditanya ada terus PP-nya lengkap, peraturan menteri ESDM nya lengkap. Memang regulasi itu butuh waktu untuk dipahami sampai di mana, perlu waktu untuk bisa dilaksanakan terutama sekarang dengan posisi misal khusus yang listrik dengan PLN kan sudah dilakukan beberapa komunikasi. Kami memahami apa yang jadi konsern PLN. PLN pun pasti memahami apa yang jadi kebijakan pemerintah," kata Dadan.
Sementara itu Fabby Tumiwa, Direktur Institure for Essential Service Reform menyebut target tersebut tidak akan tercapai bila hanya mementingkan suplai saja. Namun, dilihat juga dari penghematan energi.
"Kalau kita lihat ada upaya-upaya menggunakan penghematan energi dari misal keluar rumah matiin lampu, tapi untuk hemat yang lebih besar itu pakai teknologi. Apakah teknologi itu tersedia di pasar. Teknologi EBTKE masih sangat bergantung pada pihak asing dan mahal. Nah ini perlu lebih banyak teknologi-teknologi baru itu banyak karena regulasinya belum efektif. Kalau belum bisa masuk diharapkan memang logikanya harga lebih murah sehingga lebih terjangkau sehingga bisa bersaing dengan yang hemat energi," kata Fabby.
"Kenapa di luar bisa murah masuk ke Indonesia mahal? Pasar Indonesia kurang. Riset-riset yang ada juga belum berkembang, beli teknologi harus paten, dan lain-lain. Bukannya yang harus dipikirkan bagaimana menjadikan produsen Indonesia. Pasarnya nanti tidak hanya domestik tapi juga regional," sebut Fabby. (ang/ang)











































