"Dalam proyek 35.000 Mega Watt (MW) ini sendiri kan sebagian besar untuk kebutuhan Jawa saja. Ada tidaknya proyek 35.000 MW, listrik di Papua tetap saja defisit," kata Rinaldy di acara Energi Kita, Gedung Dewan Pers, Jakarta, Minggu (28/8/2016).
"Sesuai dengan RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) yang dibuat PLN kan asumsinya pertimbangan bisnis. Dia bangun pembangkit mengikuti permintaan, sementara permintaan listrik masih terpusat di Jawa," imbuhnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Harus pisahkan bisnis induk PLN dengan PLN di pulau-pulau Indonesia Timur. Punya manajemen sendiri, investasi sendiri. Kalau sekarang kan rencana strategis masih dari induk. Memang sekarang ada direktur regional, itu belum cukup, arahnya jadi perusahaan terpisah," tandas Rinaldy.
Menurutnya, jika berpatokan pada RUPLT yang disusun PLN, sulit meningkatkan rasio elektrifikasi wilayah Indonesia Timur.
"PLN orientasi cari untung. Kalau ikuti konsep RUPTL PLN, sulit. Konsepnya PLN, ada toko dulu baru bangun jalan, sementara pemerintah ingin pemerataan, atau bangun jalan dulu baru ada pertokoan. Artinya ada listrik, baru memicu pertumbuhan. Sementara PLN lebih banyak bangun pembangkit masih di Jawa yang kebutuhan listriknya banyak," kata Rinaldy.
"Untuk tahap awalnya PLN bisa dipisah pengelolaan regional per pulau. Arahnya nanti terpisah dengan induknya, entah itu anak usaha, namanya tetap PLN, bagian dari induk PLN, asal manajemen terpisah," terang dia.
Anggota DPR Komisi VII, Ramson Siagian mengungkapkan, selama ini proyek 35.000 MW memang tidak banyak menambah rasio elektrifikasi di Indonesia Timur. Namun, lebih untuk memenuhi pertumbuhan permintaan konsumsi listrik di pusat-pusat ekonomi, khususnya Jawa.
"Proyek 35.000 MW disusun untuk mendukung industri, terutama industri manufaktur, kemudian sektor jasa dan lainnya. Bukan patokan untuk peningkatan rasio elektrifikasi atau pemerataan listrik. Di Indonesia Timur tetap saja kurang listriknya," pungkas Ramson. (drk/drk)











































