UU Minerba akan Direvisi, Siapa yang Diuntungkan?

UU Minerba akan Direvisi, Siapa yang Diuntungkan?

Michael Agustinus - detikFinance
Senin, 05 Sep 2016 10:59 WIB
Ilustrasi Foto: Istimewa/Puspa Perwitasari
Jakarta - Berdasarkan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu bara (UU Minerba), pemerintah menetapkan larangan ekspor mineral mentah sejak 2014 untuk mendorong hilirisasi mineral di dalam negeri.

Pemerintah masih memberi kelonggaran kepada perusahaan-perusahaan yang berkomitmen membangun smelter. Relaksasi diberikan pemerintah hingga 2017, pembangunan smelter harus sudah selesai.

Tapi hingga menjelang berakhirnya relaksasi di Januari 2017, masih banyak yang belum menyelesaikan pembangunan smelter. Kini pemerintah berniat menyelesaikan revisi UU Minerba pada Desember 2016 agar bisa kembali memperpanjang relaksasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Demikian disampaikan Menko Kemaritiman sekaligus Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan, dalam rapat dengan Komisi VII DPR pekan lalu.

Siapa yang paling diuntungkan bila revisi UU Minerba segera rampung dan memperpanjang pembukaan keran ekspor konsentrat?

Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) mengungkapkan, sebenarnya hanya sebagian komoditas mineral saja yang belum siap smelternya.

Komoditas seperti nikel bahkan sudah kelebihan smelternya. Lalu komoditas mineral lain seperti zinc dan besi, sebentar lagi sudah siap. Yang paling tidak siap smelternya adalah tembaga. Maka yang paling diuntungkan dari adanya relaksasi adalah perusahaan tambang tembaga.

"Setiap komoditi ada perbedaan situasi. Kalau untuk zinc, besi, saya optimistis. Yang perlu diperhatikan adalah tembaga, yang kontrak-kontrak karya lama itu," kata Ketua AP3I Sukyar, saat dihubungi detikFinance di Jakarta, Senin (5/9/2016).

Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo menambahkan, pemerintah harus berhati-hati bila kembali memperpanjang relaksasi lewat revisi UU Minerba. Ini bisa merusak iklim investasi. Sudah banyak investor yang berminat membangun smelter di Indonesia, tentu kepercayaan mereka bisa hilang kalau ada relaksasi lagi.

Selain itu, menurut data AP3I, sudah banyak juga smelter yang dibangun sejak 2012, setidaknya sudah 27.

"Meski ada yang sedang menghentikan kegiatannya, namun pada umumnya pembangunannya tetap berjalan karena dana investasi sudah dikeluarkan sejak dimulainya proyek dan mesin-mesin sudah langsung dibeli. Pada umumnya dana investasi 30% dari investor dan 70% kredit bank. Jadi alasan investor kehabisan dana sehingga proyek macet itu tak dapat diterima akal sehat. Lalu kreditnya yang sudah dicairkan itu dikemanakan?" ujar Jonatan.

"Apakah investor seperti itu akan ditolong oleh pemerintah? Lalu apakah negara harus diperolok-olokkan di dunia internasional karena ini Undang Undang tidak konsisten?" tutupnya. (drk/drk)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads