Menurut Direktur Utama Antam, Tedy Badrujaman, perusahaan pelat merah ini memproduksi bijih hasil tambang yang belum ekonomis untuk mensuplai pabrik ANTAM ataupun pabrik dalam negeri lainnya. Padahal, kata dia, bijih ini sangat bernilai di luar negeri.
"Sehingga bisa ada tambahan pemasukan bagi negara dan pendanaan bagi proyek pertumbuhan apabila dapat diekspor, dibandingkan hanya sebagai waste tanpa nilai ekonomis," katanya dalam keterangan tertulis, Rabu (7/9/2016).
Bijih mineral memiliki beberapa karakteristik yang tidak seluruhnya dapat diolah di dalam negeri, karena keragaman teknologi pengolahan masing-masing. Bijih mineral mentah bisa diekspor jika tidak bisa dimanfaatkan di dalam negeri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sedangkan, bijih nikel yang tidak dapat dikonsumsi di dalam negeri akan diekspor. Bijih sisa ini mempunyai kadar yang lebih bagus dari bijih nikel dari Filipina, sehingga bila bijih nikel dari Indonesia masuk ke pasar ekspor maka akan mensubstitusi bijih nikel dari Filipina.
Dengan jumlah cadangan dan sumber daya nikel sejumlah 988,30 juta wmt yang terdiri dari 580,20 juta wmt bijih nikel kadar tinggi dan 408,10 juta wmt bijih nikel kadar rendah, Antam akan mampu untuk memasok kebutuhan smelter dalam negeri.
"Dengan demikian harga nikel akan tetap stabil dan minat investor akan tetap tinggi seperti saat ini," katanya.
Untuk memanfaatkan cadangan dan sumber daya nikel yang dimiliki, selain melakukan penjualan bijih domestik, saat ini Antam tengah melaksanakan pembangunan pabrik feronikel berkapasitas 13.500 ton nikel dalam feronikel (TNi) di Halmahera Timur, Maluku Utara yang direncanakan selesai pada tahun 2018.
Untuk mengoptimalkan nilai tambah potensi bauksit yang dimiliki, saat ini Antam bekerja sama dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) membangun pabrik Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) Tahap 1 berkapasitas 1 juta ton di Mempawah, Kalimantan Barat yang direncanakan selesai pada tahun 2019. (ang/dnl)











































