Menko Kemaritiman sekaligus Plt Menteri ESDM, Luhut Binsar Panjaitan, menyebut ini semua akibat miss management di sektor energi. Banyak regulasi-regulasi yang malah merugikan negara.
Misalnya Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 (PP 79/2010). Aturan soal cost recovery dan pajak di hulu migas ini membuat investasi di hulu migas tidak menarik. Investor malas mencari minyak di Indonesia karena banyaknya pajak yang dibebankan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Luhut menjelaskan, perairan Indonesia punya begitu banyak potensi migas. Tapi tak ada investor yang mau melakukan eksplorasi karena banyaknya pajak sebagaimana diatur dalam PP 79/2010. Sementara eksplorasi migas di laut dalam sangat besar risikonya. Akibatnya, cadangan terbukti minyak Indonesia tak bertambah, hanya 3,6 miliar barel, tidak ada penemuan cadangan baru.
"Potensi laut dalam kita di minyak sangat besar, bisa 100 miliar barel. Gas juga begitu. Tapi cost-nya jadi tinggi. 1 sumur bisa US$ 100-125 juta, kalau dry hole langsung hilang itu. Kita harus kasih insentif. Kalau IRR hanya 4-5 persen ya nggak ada yang mau. Cadangan kita 3,6 miliar tidak pernah bertambah karena kita tidak melakukan eksplorasi lagi," ucapnya.
Kalau saja eksplorasi di laut dalam lebih banyak dilakukan, laju penurunan produksi minyak Indonesia dapat ditahan, impor minyak pun tidak terus bertambah.
"Sea bed mining berpuluh tahun nggak pernah kita touch. Di laut dalam itu potensi gas dan minyak masih banyak. Pernah dieksplorasi? Belum. Kalau kita eksplorasi, penurunan produksi kita yang menurun drastis itu bisa diatasi," tuturnya.
Untuk mengatasi masalah ketergantungan pada impor energi ini, harus ada komitmen kuat melakukan perbaikan. Apakah Indonesia bisa terbebas dari impor energi atau tidak, tergantung pada kesungguhan para pemangku kepentingan.
"Sekarang kita mau nggak? Atau mau impor saja? Sepanjang kita bisa lakukan eksplorasi dengan baik, kembangkan EBT, banyak sekali, kita bisa," tutupnya. (wdl/wdl)











































